Cuma Seratus Jutaan Aja Sih, Tapi Ini Soal Sahnya Aliran Duit

0
60 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID      –      Khusus penilaian terhadap kinerja penyaluran dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa tahun anggaran 2022, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tercatat telah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebanyak 2 kali.

Yakni LHP Jilid I pada Oktober 2022 dengan obyek pemeriksaan hingga bulan Agustus. Serta LHP Jilid II dengan obyek pemeriksaan seluruh penyaluran BLT Desa selama setahun penuh dalam rentang tahun anggaran 2022. Dengan demikian, LHP BPK Jilid II adalah LHP final.

Pada LHP Jilid I, diketahui masih ada sejumlah temuan yang sebagian diantaranya sudah terselesaikan dengan apik pada LHP Jilid II atau LHP final. Sementara untuk sebagian yang lain, hingga saat ini belum terkonfirmasi apakah temuan tersebut juga terselesaikan pada LHP Jilid II, atau belum.

Salah satunya adalah kebijakan Pemkab yang menjadikan 10.703 KPM (Keluarga Penerima Manfaat) harus membayar Rp 10 ribu untuk saldo awal pembukaan rekening Siwbangtis di Bank Jombang. Kebijakan ini pada akhirnya mengundang pertanyaan serius karena berakibat penyaluran BLT Desa menjadi berbayar.

Meski hanya Rp 10 ribu, namun nominal yang terkumpul tembus Rp 107.030.000. Ini karena jumlah KPM yang melakukan setoran awal mencapai 10.703 orang. Padahal, diluar itu ada 3.443 KPM lain yang mengantongi rekening tabungan dari Bank Jombang tanpa perlu setoran awal alias gratis. Rekening tabungan itu namanya Simpati Sosial.

Lalu kenapa 10.703 KPM tidak memilih membuka rekening Simpati Sosial saja? Terhadap hal ini, BPK menyebut sudah melakukan wawancara secara uji petik kepada Kepala Desa di 68 Desa dan didapati jawaban bahwa yang ditawarkan Bank Jombang adalah rekening tabungan Siwbangtis, bukan Simpati Sosial.

Pada LHP Jilid I, diketahui BPK tidak sedang menyoal keabsahan uang Rp 10 ribu yang telah dibayar oleh 10.703 KPM tersebut. Tetapi, BPK hanya menuding bahwa pembukaan rekening baru oleh KPM dinilai tidak efektif karena mayoritas KPM adalah kelompok usia lanjut dan keluarga miskin yang tidak butuh menabung.

BPK menyebut, meski sudah setor saldo awal, namun 5.551 dari 10.703 KPM belum menerima buku tabungan. Dari sejumlah itu, 761 buku tabungan disebut tertahan di Kantor Desa. Juga, saat sebagian buku tabungan dilakukan print out, ternyata didalamnya tidak ditemukan transaksi apapun alias kosong.

Peristiwa itu terjadi Desa Kedung Galih, Kecamatan Bareng. Belum diketahui, apakah kasus yang muncul pada LHP BPK Jilid I ini sudah terselesaikan pada LHP BPK Jilid II? Terkait hal ini, humas Bank Jombang, Usman, yang dikonfirmasi lewat sambungan WhatsApp, Kamis (2/11/2023), tidak sedikitpun memberikan respon.

“Pertanyaannya, bagaimana status uang Rp 10 ribu yang dibayar KPM untuk saldo awal pembukaan rekening Siwbangtis di Bank Jombang tersebut? Kalaupun itu dianggap sah secara mekanisme perbankan, misalnya, tapi pada akhirnya penyaluran BLT Desa menjadi berbayar. Itu intinya, “tegas Pentolan LSM kepada Telusur.ID.

Ia pun meyakini bahwa apapun dalihnya, kebijakan yang membuat KPM harus melakukan bayar meski Rp 10 ribu, tetap saja itu sebentuk pelanggaran hukum. “Kalau boleh dibilang ya mengarah ke pungli lah. Karena seharusnya KPM tidak boleh membayar sepeser pun. Tapi itu domain APH, “ujarnya.

Dibanding Pemkab yang menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomer 140/2022/415.30/2022 tentang percepatan penyaluran BLT Desa secara non tunai, sambungnya, alamat kesalahan lebih layak disematkan kepada Bank Jombang yang tidak mengarahkan KPM untuk membuka rekening Simpati Sosial sehingga penyaluran BLT Desa menjadi berbayar.

Sumber di DPMD Pemkab Jombang menyebut bahwa terbitnya SE 140/2022/415.33/2022 tentang penyaluran BLT Desa secara non tunai sebenarnya dilakukan untuk menghindarkan praktik “main potong” BLT oleh oknum perangkat desa. “Sebenarnya tetap tunai, ini hanya menggeser penyaluran dari yang semula manual di Kantor Desa menjadi lewat rekening tabungan, itu saja intinya, “tegasnya.

Menanggapi hal ini, Pentolan LSM mengaku cukup apresiade dan langkah cerdas itu perlu didukung. Hanya saja, untuk urusan tata kelola pemerintahan, Surat Edaran tidak boleh sembarangan terbit. “Harus ada cantolannya. Lebih dari itu, apapun dalihnya, Pemkab harus menjamin penyaluran BLT Desa tidak boleh berbayar. Emang siapa suruh pindah ke rekening? “tuturnya.

Apapun itu, peristiwa ini sudah terjadi. Setidaknya, potret kasus sudah terekam pada LHP BPK Jilid I. Lalu bagaimana dengan LHP BPK Jilid II? Apakah setoran awal Rp 10 ribu tetap berlanjut dan dianggap sah? Bagaimana Dewan Komisaris Bank Jombang bersikap? Juga, cantolan apa yang mendasari terbitnya Surat Edaran? Ikuti terus laporan TelusuR.ID. (din)

 

Tinggalkan Balasan