JOMBANG, TelusuR.ID – Dua bulan lagi perjalanan kasus ruko simpang tiga memasuki tahun ke 8. Dalam kaitan itu, juru bicara Aliansi LSM Jombang Hadi Purwanto menyebut, kasus ini menjadi yang termahal sepanjang sejarah birokrasi Pemkab Jombang. Mahal secara waktu, juga biaya.
Pendapat ini mungkin saja debatable. Namun Hadi Purwanto memiliki pandangannya sendiri. Dari sekian pemicu yang menjadikan kasus ini bernilai mahal, tegasnya, sikap Pemkab yang terbilang tidak tegas itu dinilai menjadi penyumbang paling besar.
Pemkab sendiri akhirnya terjebak dalam situasi yang bukan saja tidak perlu, tapi juga tidak masuk akal dan tidak lazim. Yakni, tegas Hadi, Pemkab terpaksa “mensubsidi” sekelompok orang kaya dalam bentuk membiarkan mereka menempati ruko tanpa bayar sewa.
Subsidi memang tidak benar-benar diberikan secara langsung. Karena regulasi dan cantolan untuk itu tidak pernah ada. Namun sikap “menolak” membayar sewa ruko yang ditunjukkan penghuni dalam 7 tahun terakhir ini, tutur Hadi, sama saja memaksa Pemkab untuk mengucurkan subsidi.
Sebab, retribusi sewa ruko telah menjadi ketetapan PAD. Sehingga ketika PAD berujung nihil karena retribusi sewa macet, sambung Hadi, maka Pemkab wajib menutup itu untuk memastikan tidak terjadi tindak pengemplangan uang negara. “Jadi, siapa yang ongkang-ongkang, dan siapa yang kelabakan menutup PAD? “ujarnya.
Pemkab memang tidak benar-benar mensubsidi itu. Sebab, kasus ini masih menjadi polemik di meja Pidsus Kejari Jombang. “Namun hampir 8 tahun menempati ruko tanpa bayar, apa lantas PAD hapus? Justru itu menyeret Pemkab sebagai pesakitan. Jika itu bukan subsidi dalam tanda petik, lalu apa namanya? “tandasnya.
Ditegaskan Hadi, dari sisi kerugian negara, kasus ruko simpang tiga bisa dilihat dalam 2 bagian. Yakni kasus berbasis rentang 2017 hingga 2021 yang saat ini masuk meja Pidsus Kejari Jombang sebagai respon atas temuan BPK, serta rentang 2022 dan 2023 yang bahkan sampai hari berlangsung senyap tanpa kabar berita.
Secara regulatif, tegas Hadi, 54 unit ruko simpang tiga sudah berbandrol sewa. Besarannya rata-rata Rp 19 juta per tahun. Jika 54 ruko sudah terisi dan terhuni, maka lembar PAD tidak boleh kosong. Jika kosong, bukan penghuni yang jadi pesakitan, tapi Pemkab rentan tuduhan mengemplang uang negara.
Faktanya PAD sewa ruko tercatat kosong. BPK RI yang bilang begitu. Padahal ruko sudah terisi dan terhuni. Itu berlangsung sejak 2017 hingga 2023. Khusus masa hunian 2017-2021, BPK bilang Pemkab harus membayar ke kas negara sebesar Rp 5 milyar lebih. Perintah itu muncul karena PAD tercatat kosong.
Kasus ini sudah masuk meja Pidsus Kejari Jombang. Tapi tidak untuk masa hunian 2022 dan 2023. Sekalipun begitu, sampai hari ini, penghuni masih menempati ruko dan belum beranjak dari sana. Dengan sikapnya tersebut, tegas Hadi, maka sekelompok orang kaya yang menempati ruko bisa dibilang turut menikmati “subsidi” dari Pemkab.
Besaran “subsidi” terbilang lumayan. Yakni Rp 52 ribu per hari, atau rata-rata Rp 19 juta per tahun. Lumayan, karena angka ini melampaui subsidi yang manapun yang diperuntukkan bagi kaum miskin. Khusus untuk masa hunian 2022 dan 2023, tegas Hadi, “subsidi” dipastikan berlangsung karena penghuni masih menempati ruko tanpa berita bayar sewa.
“Mungkin sekelompok orang kaya yang menempati ruko tidak sadar telah mendapat “subsidi” dari Pemkab. Padahal hampir 8 tahun mereka menikmati itu. Pertanyaannya, aset siapa boleh ditempati secara gratis? Dan itu membuat Pemkab kelabakan untuk menutup PAD. Karenanya, situasi ini sudah waktunya diakhiri, “ujarnya. (din)