JOMBANG, TelusuR.ID – Berharap Pj Bupati bisa memberikan sentuhan berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya, Selasa (3/10/2023), Aliansi LSM Jombang bakal melayangkan surat audensi ke Pemkab untuk memastikan ruko simpang tiga kapan ditutup.
“Audensi untuk memastikan kapan ruko simpang tiga ditutup. Tentu, sebagai nahkoda baru, kami berharap Pj Bupati memiliki mindset berbeda. Yakni berani mengambil tindakan tegas ditengah kemungkinan resiko yang muncul, “tegas Hadi Purwanto, juru bicara Aliansi LSM Jombang.
Ditegaskan Hadi, dalam menyikapi polemik yang muncul, Pemkab seharusnya mengambil pilihan rasional. Dan pilihan itu adalah menutup ruko. Sebab, jika itu tidak dilakukan, sama saja Pemkab mengambil resiko besar karena setiap hari harus menanggung PAD sebesar Rp 2,8 juta.
Ini bukan saja soal bagaimana Pemkab menutup tanggungan PAD yang seharusnya menjadi kewajiban penghuni, tutur Hadi, tapi yang terjadi sebenarnya adalah uang rakyat sedang dipermainkan. “Mindset penyelematan aset rakyat harus dikedepankan ditengah kemungkinan resiko yang muncul. Apapun itu, pemimpin harus bersikap, “tandasnya.
Disisi lain, jika opsi penutupan ruko diambil, sambung Hadi, resiko terburuk yang mungkin muncul adalah penghuni bakal menempuh jalur hukum. Jika itu yang terjadi, tegas Hadi, seharusnya Pemkab tidak perlu risau karena secara hitungan diatas kertas Pemkab bakal sulit terkalahkan.
Hadi lantas membeberkan sejumlah fakta hukum yang seharusnya masuk pertimbangan Pemkab. Pertama, penghuni sudah menempuh jalur hukum. Itu dilakukan pada pertengahan 2022 lalu. Yakni gugatan di PN Jombang dengan agenda pembatalan 3 dokumen penting.
Antaralain adalah, surat perjanjian antara Pemkab dan Developer tahun 1996 tentang kerjasama pembangunan ruko simpang tiga. Berikutnya, rekom pansus DPRD Jombang tentang penutupan paksa ruko simpang tiga. Serta, keputusan BPN Jombang yang menerbitkan SHGB dengan masa berlaku hanya 20 tahun.
PN Jombang menolaknya. Dan itu sudah inkrah. Dengan demikian, 3 dokumen penting tetap berlaku dan tetap memiliki kekuatan hukum. “Secara mekanisme hukum, 3 dokumen penting itu tidak bisa lagi digugat di Pengadilan kecuali ada novum. Jadi, sesungguhnya protes penghuni sudah kalah di Pengadilan, “ujar Hadi.
Fakta kedua, sambungnya, pihak penghuni belum bisa menunjukkan satu dokumen otentik bahwa pengajuan perpanjangan SHGB dilakukan 2 tahun sebelum masa berlaku habis. Yang terjadi, tutur Hadi, perpanjangan diajukan beberapa bulan menjelang SHGB habis yaitu tahun 2016. Dengan demikian pengajuan otomatis ditolak karena menyalahi ketentuan PP.
Fakta ketiga, lanjut Hadi, setelah masa berlaku SHGB habis dan kepemilikan kembali ke HPL yang menjadi domain Pemkab, tercatat penghuni tidak pernah melakukan transaksi sewa dengan Pemkab. “Berarti mereka menempati ruko itu menggunakan dasar apa? “nada Hadi bertanya.
Masih kata Hadi, fakta keempat adalah soal substansi surat perjanjian tahun 1996 itu sendiri. “Jika seluruh protes dan perlawanan pihak penghuni didasarkan pada perjanjian tersebut, maka pertanyaannya, adakah dalam perjanjian itu satu klausul yang menyebut penghuni bisa menempati ruko paska 2016? “tandasnya.
Dari paparan tersebut, tegas Hadi, Pemkab seharusnya tidak perlu ragu untuk menutup ruko. Selain menghindari kerugian yang lebih besar yakni setiap hari harus menanggung PAD sebesar Rp 2,8 juta, posisi Pemkab diatas kertas juga sulit dikalahkan. “Gak masalah mereka menggugat di pengadilan. Dihadapi saja. Aliansi LSM Jombang ada di pihak Pemkab, “tegasnya. (din)