JOMBANG, TelusuR.ID – Bu Nyai sudah pulang. Hari ini, sosoknya adalah lembar sejarah. Banyak teladan dan catatan yang ditinggalkan. Juga cermin. Yang didalamnya menyembulkan potret serta gores nyanyian kinerja. Entah, bagaimana seharusnya memandang.
Menapaki pengabdian sejak tahun 2019, selama 5 tahun pengelolaan aset ruko simpang tiga ada digenggaman Bu Nyai. Nyaris tanpa gejolak. Semua nampak normal-normal saja. Mungkin, Bu Nyai tidak tahu PAD sektor sewa ruko simpang tiga berujung kosong blong. Atau, Bu Nyai sengaja tidak diberitahu soal itu.
Bisa jadi Bu Nyai memang tidak bersalah. Karena kewajiban menarik kembali aset ruko simpang tiga dari tangan penghuni harusnya terjadi pada era Bupati Nyono Suharli. Yakni tahun 2016. Dimana keabsahan penghuni menempati ruko telah habis seiring habisnya masa berlaku SHGB.
Dua pemimpin seperti terninabobokan. Mungkin juga tidak. Namun BPK RI tiba-tiba datang dan membuyarkan semuanya. Banyak kepala dibuat kaget ketika mengetahui sesuatu telah terjadi atas ruko simpang tiga. Ya, BPK menyebut selama 5 tahun setoran sewa ruko tidak masuk PAD alias ngeblong.
Angkanya sekitar Rp 1 milyar lebih per tahun. Sehingga total kerugian dalam rentang 5 tahun tembus Rp 5 milyar lebih. Dengan kewenangan dan instrumen yang dimiliki, BPK memerintahkan agar Pemkab Jombang segera mengembalikan kerugian ke kas negara. Apapun caranya.
Merespon itu, pada 2022 lalu, Pemkab menerbitkan tarif sewa ruko untuk ditagihkan ke penghuni. Masing-masing penghuni ditarif Rp 100 jutaan untuk rentang hunian 2016 hingga 2021. Jika itu dipatuhi, maka angka yang terkumpul mencapai Rp 5 milyar lebih. Dan itu artinya kerugian negara tertutup.
Tapi apa lacur. Jalan pikiran penghuni ternyata jauh diluar perkiraan. Mereka menolak. Sejumlah bantahan serta klaim-klaim subyektif mulai dikibarkan. Mereka bahkan tidak segan mengaku berhak menempati ruko lewat dalil-dalil pembenaran. Tidak sampai disitu, jalan peradilan pun ditempuh.
Sedikitnya, 3 hal besar dimintakan ke PN Jombang untuk dibatalkan. Antaralain surat perjanjian antara Pemkab dan Developer tahun 1996 tentang kerjasama pembangunan ruko, lalu rekom pansus DPRD terkait perintah penutupan paksa komplek ruko, serta keputusan BPN Jombang yang memberi umur SHGB hanya 20 tahun.
Apa yang terjadi? PN Jombang menolak. Dan itu inkrah. Itu artinya 3 dokumen penting tidak terkoyak dan tetap berlaku. Itu artinya, tegas juru bicara Aliansi LSM Jombang Hadi Purwanto, tafsir hukum yang menguat adalah status kepemilikan ruko kembali ke HPL (Hak Pengelolaan) yang merupakan domain Pemkab.
Sekalipun begitu, penghuni tetap bertahan sampai hari ini. Dan itu memicu kerugian susulan, yakni sewa ruko 2022 dan 2023 yang kisarannya mencapai Rp 2 milyar lebih. Pertanyaan besarnya adalah, tegas Hadi, atas dasar apa penghuni tetap bertahan menempati ruko simpang tiga? Bukankah SHGB sebagai satu-satunya cantolan sudah tidak berlaku?
“Pertanyaan besarnya adalah atas hak apa penghuni tetap menempati ruko? Selain SHGB yang sudah mati, memangnya mereka mengantongi apa? Kalau sewa, sewa ke siapa? Selain SHGB dan sewa, adakah dokumen hukum lain yang menguatkan mereka? Jika ada, sebutkan apa? “nada Hadi bertanya.
Dari situasi itu, yang membuat pentolan Aliansi LSM Jombang ini harus tepuk jidat adalah sikap Pemkab yang dinilainya bias. Entahlah, tegas Hadi, pertimbangan logis apa yang membuat Pemkab seperti tidak bernyali untuk menutup paksa ruko simpang tiga.
“Padahal Pemkab mengantongi HPL. Padahal SHGB sudah habis. Padahal penghuni tidak melakukan kontrak sewa. Padahal Pemkab punya segalanya. Punya Bagian Hukum. Punya duit untuk mengundang ahli. Punya Satpol PP. Punya Forkopimda. Kurang apa lagi? Kurang berapa lagi gerbong pemimpin yang harus menyelesaikan masalah ini? “protesnya. (din)