JOMBANG, TelusuR.ID– Ketua LSM Pospera (Posko Perjuangan Rakyat) Jombang, Aan Teguh Prihatno, mendatangi kantor redaksi TelusuR.ID, Senin (25/9/2023). Dalam kunjungannya, Aan berniat memperdengarkan rekaman suara dari salah seorang wali murid yang mengaku membayar Rp 4,5 juta kepada pihak sekolah.
Dari isi rekaman suara diketahui, bahwa wali murid yang merupakan pasangan suami istri itu mengaku memiliki 2 putra yang masing-masing duduk di kelas X dan kelas XI salah satu Sekolah Tingkat Menengah Atas yang diduga memberlakukan tarif SPP, uang seragam dan uang gedung.
Untuk putranya yang duduk di kelas XI, wali murid mengaku hanya dikenakan uang SPP sebesar Rp 750 ribu. Pembayaran bisa dilakukan melalui rekening khusus yang diduga milik Komite Sekolah, atau melakukan pembayaran secara manual melalui kantor TU sekolah.
Sedang untuk putranya yang merupakan murid baru atau kelas X, ia mengaku dikenakan tarif sebesar Rp 4,5 juta oleh pihak sekolah. Uang itu bersifat inklud untuk kebutuhan seragam sekolah (lengkap), uang SPP selama 6 bulan, dan untuk uang gedung. Sayangnya ia lupa berapa rinciannya.
“Sebenarnya ada kwitansinya. Tapi sudah ditukarkan dengan seragam. Totalnya sebesar Rp 4,5 juta. Itu untuk seragam, SPP 6 bulan, dan uang gedung. Tapi saya lupa rinciannya. Itu berlaku untuk gelombang satu. Jika tidak sanggup, akan diberikan pilihan kedua yaitu masuk gelombang 2 dengan tarif Rp 5,5 juta, “paparnya dalam rekaman.
Ia mengaku menyesalkan sikap pihak sekolah atau Komite yang memutuskan kebijakan secara sepihak. Sejauh ini pihaknya belum pernah diundang dalam rapat wali murid, apalagi dimintai persetujuan. Seluruh kebijakan diputuskan secara sepihak oleh komite, dan wali murid hanya bisa mematuhinya.
“Ya kami merasa kecewa. Karena sebelumnya tidak pernah diundang dalam rapat wali murid untuk dimintai pendapat atau persetujuan. Tiba-tiba diberitahu harus bayar sekian. Ya mau tidak mau harus dibayar. Tapi keputusan sepihak ini cukup membuat kami kelabakan, “tambahnya.
Sejauhmana kebenaran isi rekaman suara tersebut? Hingga saat ini konfirmasi dari pihak sekolah maupun komite, belum berhasil didapatkan. Juga, ketika berita tentang beredarnya kwitansi SPP Berlogo BRI dengan nominal Rp 750 ribu dikirim ke Kepala Sekolah dan Komite, mereka seperti satu suara, yaitu bungkam.
Pertanyaannya, apakah keputusan pihak sekolah memungut uang SPP kepada siswa dengan dalih biaya administrasi itu bisa dibenarkan? Juga pungutan uang gedung, apakah hal ini dibolehkan? Pertanyaan ini penting, karena sekolah dimaksud berstatus Sekolah Negeri, dimana kebutuhan SPP dan gedung sekolah sudah dicover pemerintah.
Bagaimana dengan seragam? Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan tegas melarang sekolah negeri dibawah naungan Pemprov Jatim untuk berjualan seragam melalui koperasi sekolah. Larangan itu ditegaskan dalam moratorium berskala Surat Edaran. Hingga saat ini, moratorium masih berlaku dan belum dicabut.
“Saya pikir persoalan ini tidak bisa didiamkan. Kedepan, ini akan menjadi preseden buruk bagi wajah pendidikan di kota santri. Karenanya, pihak sekolah atau komite, harus bisa menjelaskan kepada publik terkait munculnya item SPP, uang gedung, dan uang seragam, “tutur pentolan LSM Pospera Jombang, Aan Prihanto.
Aktivis berambut gondrong ini mengaku tidak segan membawa persoalan ke ranah hukum. Namun sebelum langkah itu diambil, terlebih dulu pihaknya akan mengirim surat klarifikasi untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. “Prinsipnya, tidak boleh ada bisnis dalam sekolah, “tegasnya. (din)