JOMBANG, TelusuR.ID – Ketua LSM GeNaH Hendro Suprasetyo, kembali melayangkan surat klarifikasi susulan, Jumat (16/6/2023). Tidak hanya kepada Sekwan, tetapi surat juga ditujukan kepada BPKAD. Hal ini dilakukan karena jawaban Sekwan atas surat pertama dinilai belum menyentuh substansi permasalahan.
Dalam surat jawaban tertanggal 13 Juni 2023 tersebut, tutur Hendro, Sekwan menegaskan bahwa besaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD sudah sesuai aturan yang berlaku. Juga, besaran tunjangan tersebut diklaim sudah didasari kajian dari pihak appraisal.
Hanya, sambung Hendro, identitas KJPP (Konsultan Jasa Penilai Publik) tidak disebutkan. Dalam klarifikasinya, Sekwan hanya membuat penegasan terkait 2 hal. Yakni kegiatan appraisal dipastikan ada namun bukan oleh Sucofindo. Serta, penyebutan alokasi Rp 100 juta sebagai bukti kegiatan appraisal telah dilaksanakan.
“Karenanya surat klarifikasi juga ditujukan kepada BPKAD untuk memastikan alokasi Rp 100 juta sebagaimana klaim Sekwan tersebut sudah terserap atau belum. Sekaligus, sebagai bentuk konfirmasi bahwa klaim BPKAD soal appraisal oleh Sucofindo ternyata dibantah pihak Sekwan, “ujarnya.
Hendro menyayangkan sikap kedua pejabat publik yang dinilainya belum transparan tersebut. Selain tidak elok, hal tersebut bisa berujung blunder karena akan ada pihak yang ketahuan berbohong. “Terus terang saya tidak habis pikir kenapa persoalan yang seharusnya sederhana malah menjadi rumit, “ucapnya.
Khususnya pihak Sekwan. Jika benar kegiatan appraisal itu ada dan bahkan dialokasikan Rp 100 juta, sergah Hendro, kenapa nama KJPP tidak disebutkan dan hanya membantah bukan Sucofindo? Juga, jika benar ada appraisal, kenapa kegiatan tersebut tidak muncul di Sirup LKPP dan LPSE 2021?
Bagi Hendro, persoalan appraisal layak mendapat porsi perhatian karena 2 alasan. Pertama, untuk memastikan bahwa penetapan angka tunjangan sudah melalui tahapan dan mekanisme yang benar. Kedua, klaim bahwa kegiatan appraisal dialokasikan Rp 100 juta bukan sekedar informasi abal-abal.
Sekalipun begitu, ada atau tidak ada appraisal, tegas Hendro, LSM GeNaH tetap berteguh untuk membawa persoalan ini ke ranah gugatan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memastikan bahwa besaran tunjangan perumahan dan transportasi sudah teruji secara hukum peradilan.
Hanya saja, sergah Hendro, jika kemudian didapati bahwa angka tunjangan yang terbilang fantastis itu tidak dasari kajian appraisal, tentu persoalan menjadi bergeser. Yakni, dari yang semula hanya seputar dugaan penggelembungan anggaran, menjadi lebih komplek mencakup transparansi dan kejujuran.
Seperti diberitakan sebelumnya, besaran tunjangan perumahan anggota DPRD sebesar Rp 18.800.000 per bulan atau Rp 11,5 milyar per tahun, dinilai merupakan bentuk pemborosan anggaran negara karena akan berlangsung secara terus menerus tanpa batas waktu. Padahal praktik ini sejatinya bisa dihindari.
Caranya, Pemkab diminta menyediakan rumah dinas bagi 46 anggota DPRD. Sejumlah pihak menyebut, alokasi untuk kebutuhan dimaksud mencapai kisaran Rp 50 milyar atau setara 5 tahun tunjangan perumahan DPRD. Opsi ini dianggap solusi cerdas, karena APBD akan terbebas dari beban Rp 11,5 milyar per tahun.
Namun, sejauh ini Pemkab belum menunjukkan sikap setuju. Bukan karena tidak mampu, tapi diduga Pemkab tidak bernyali untuk mengusik wilayah politis tersebut. Angka tunjangan pun mulai dikoreksi. Buka soal bungkus (Perbup), tapi bagaimana angka tersebut ditetapkan. “Jangan-jangan memang ditetapkan berdasarkan deal politik, “ujar Sumber. (Laput/red/din)