♦JOMBANG, TelusuR.ID – Isu tunjangan perumahan DPRD terus menggelinding. Sejumlah aktivis LSM di Jombang mulai bersuara kencang. Secara umum, para aktivis ingin memastikan bahwa tunjangan perumahan anggota dewan sebesar Rp 18.800.000 per bulan itu sudah terbilang rasional.
Dengan kata lain, angka yang ditetapkan bukan merupakan kompromi politik apalagi barter kekuasaan. Para aktivis berpendapat, jika angka yang ditetapkan tidak rasional atau cenderung mengada-ada, maka ekses yang ditimbulkan bakal lumayan komplek. Selain memicu dugaan kerugian negara, hal ini juga merugikan masyarakat.
Kali ini, giliran Aliansi LSM Jombang yang mendesak tunjangan perumahan dewan untuk diuji. Direktur Ekskutif Aliansi LSM Jombang, Hadi Purwanto, menegaskan bahwa besaran tunjangan perumahan penting untuk disikapi demi memastikan tidak terjadi penggelembungan anggaran yang dibungkus dengan Peraturan Bupati (Perbup).
Tengara ini menguat, tegas Hadi, karena munculnya Perbup 5/2022 sebagai cantolan terbaru tunjangan perumahan dewan sempat diwarnai aksi boikot pihak legislatif terhadap LKPJ Bupati. Pada sisi ini, drama pertentangan tunjangan petinggi Pemkab sempat terpapar ke publik.
Terutama TPP pejabat Sekda yang dinilai kelewat besar karena melampaui BOP Bupati. Saat itu, TPP Sekda dipatok diangka Rp 43 juta per bulan, sedang BOP Bupati hanya Rp 33 juta per bulan. Polemik pun berakhir dengan munculnya Perbup 5/2022 yang berujung pada kenaikan angka tunjangan perumahan dewan.
Bak pepatah dua gajah bertarung pelanduk mati ditengah-tengah, tutur Hadi, situasi itu mengesankan tengah berlangsung barter kekuasaan antara ekskutif dan legislatif. Namun, Aliansi LSM Jombang tidak perduli dengan spekulasi yang berkembang. Poinnya adalah, angka tunjangan harus rasional.
Ditegaskan, munculnya Perbup 5/2022 sebagai terjemahan tehnis dari Perda 60/2017 yang merupakan turunan dari PP 18/2017 dan PP 1/2023, terbilang tidak ada yang salah secara konstruksi. Hanya, bagaimana angka tunjangan ditetapkan, di titik inilah semua perlu diuji.
Sebab, sambung Hadi, PP 18/207 sebagaimana telah diperbarui dengan PP 1/2023 tidak pernah mematok besaran angka. Urusan angka diserahkan kepada Perda dan Perbup. Namun PP dengan tegas melempar rambu-rambu bahwa penetapan angka tunjangan tidak boleh keluar dari wilayah kepatutan, kewajaran, rasionalitas, serta berbasis harga setempat.
Pertanyaannya, tegas Hadi, sudahkah tunjangan perumahan bagi anggota dewan sebesar Rp 18.800.000 per bulan itu memenuhi amanat PP? Bagaimana angka tersebut ditetapkan? Apalagi angka tersebut menjadi yang tertinggi se Jawa Timur untuk kategori Kabupaten, dimana hal itu memicu kejanggalan.
Merespon ketentuan dan rambu-rambu PP soal nilai kepatutan, kewajaran, rasionalitas, serta berbasis harga setempat, Pemkab mengklaim bahwa besaran tunjangan ditentukan berdasarkan kajian appraisal. Hanya, sejauh ini kepastian soal itu belum seluruhnya transparan. Bahkan antara Sekwan dan BPKAD masih terjadi pertentangan.
“Pertentangan antara Sekwan dan BPKAD soal informasi appraisal menjadi pemandangan yang tidak elok. Hal itu tidak seharusnya terjadi karena bisa memicu spekulasi liar. Saya berharap Sekwan sebagai pengguna anggaran kegiatan appraisal bisa bersikap transparan untuk mengakhiri polemik yang tidak perlu, “tegas wartawan senior ini.
Hadi menegaskan, jika masalah appraisal tak kunjung dibuka ke publik, maka patut diduga kuat kegiatan tersebut memang tidak pernah ada. “Jika benar itu yang terjadi, maka spekulasi bahwa angka tunjangan perumahan dewan ditetapkan berdasarkan deal-deal politik tertentu sepertinya bukan isapan jempol, “ujarnya.
Karenanya, Aliansi LSM Jombang akan menempuh publik hearing ke gedung rakyat untuk memastikan duduk persoalan sebenarnya. “Klaim bahwa tunjangan perumahan dewan ditentukan berdasarkan kajian appraisal harus bisa dibuktikan. Jika itu tidak terpenuhi, maka Perbup 5/2022 bisa dianulir lewat jalur gugatan, “pungkasnya. (Laput/red/din)