Tunjangan Perumahan Dewan (1): DIDUGA TIDAK ADA APPRAISAL

0
115 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID      –      Sejak 2022 lalu, sebanyak 46 anggota DPRD Jombang diganjar Rp 18.800.000 per bulan untuk tunjangan perumahan. Selain fantastis dan tertinggi se Jawa Timur untuk kategori daerah Kabupaten, angka ini disebut hasil appraisal oleh lembaga penilai publik BUMN yaitu Secufindo. Benarkah demikian?

Terhadap pertanyaan ini seorang Sumber melempar sejumlah catatan. Antaralain soal tidak terpublisnya angka appraisal Secufindo ke ranah publik. Karenanya, angka tunjangan perumahan merupakan hasil intervensi atau pyur produk Secufindo, sejauh ini belum terkonfirmasi. Pada level ini, Secufindo hanya memberi opini, bukan pemutus.

Artinya, tutur Sumber, angka appraisal oleh Secufindo hanya bernilai sebuah pendapat. Selanjutnya, mau dipermak atau tidak, sepenuhnya menjadi kewenangan Bupati.   Dan itu sudah diaktualisasi melalui produk kebijakan bernama Peraturan Bupati. Dari sini, Secufindo hanya pendulang, bukan penentu.

Catatan berikutnya adalah, lanjut Sumber, soal tidak munculnya item appraisal tunjangan perumahan dewan pada daftar kegiatan APBD 2021. Kepastian itu bisa dirunut pada lapak sirup LKPP maupun LPSE. Kenapa tahun 2021? Karena Perbup 5/2022 tentang tunjangan perumahan dewan, tutur Sumber, diterbitkan Bupati pada 3 Januari 2022.

Dengan tidak nongolnya kegiatan appraisal pada lapak sirup LKPP dan LPSE 2021, tegas Sumber, maka klaim pekerjaan appraisal oleh Secufindo memicu pertanyaan besar. Artinya, kegiatan bisa benar ada, atau sebaliknya: fiktif. Karena aturannya, setiap belanja APBD wajib dipublis di sirup LKPP.

Sumber menegaskan, jika saja kegiatan appraisal itu fiktif, maka tafsir tentang itu merujuk pada 2 hal. Pertama, tengah berlangsung upaya penyesatan informasi secara serius kepada publik. Kedua, angka tunjangan perumahan yang terbilang jumbo itu tidak kaitan dengan Secufindo.

Sebaliknya, sambung Sumber, jika kegiatan appraisal benar ada namun tidak dipublis ke publik, maka yang terjadi adalah sebentuk pelanggaran terhadap ketentuan LKPP. “Pertanyaannya, kenapa tidak publis? Ada maksud apa dibalik itu? Atau jangan-jangan memang tidak ada appraisal? “nadanya bertanya.

 

Pertanyaan ini tidak berlebihan. Sebab, tegas Sumber, proses terbitnya Perbup 5/2022 cukup kuat dilingkupi atmosfir politis. “Jejak digital cukup menjelaskan bahwa terbitnya Perbup sempat diwarnai aksi boikot oleh pihak legislatif terkait LKPJ Bupati. Aksi boikot diduga dipicu adanya kesenjangan, “terangnya.

Saat itu, tepatnya pada 2021, mencuat ke permukaan TPP (Tambahan Pengahsilan Pegawai) Sekda Ahmad Jazuli yang tembus angka Rp 43 juta per bulan. Menurut Sumber, angka ini dinilai aneh karena besarannya melampaui BOP Bupati yang hanya Rp 33 juta per bulan. Tidak hanya Sekda, moncernya TPP juga merambah pejabat struktural Pemkab.

Antaralain Asisten dikisaran angka Rp 18 juta per bulan, Kepala Bagian diangka Rp 10 juta per bulan, serta Kepala Dinas dipatok Rp 15 juta per bulan.  Polemik kian ramai karena dilevel Asisten dan Kepala Bagian terjadi selisih angka. Yakni Asisten I hanya mengantongi Rp 16 juta per bulan, sedang Asisten II dan III meraup Rp 18 juta per bulan.

Perbedaan angka menjadi sorotan karena beban kerja ketiga Asisten dinilai sama. Begitu pun dengan Kepala Bagian.  Tercatat ada 3 Kabag yang mendapat TPP Rp 13 juta per bulan, sedang Kabag yang lain hanya Rp 10 juta per bulan. Saat itu Bupati meminta kepada Sekda agar  besaran TPP dievaluasi.

Selanjutnya, selang beberapa waktu kemudian, tiba-tiba agenda paripurna terkait LKPJ Bupati berlangsung mulus. Seiring itu, Perbup 5/2022 akhirnya terbit, dan angka tunjangan perumahan anggota dewan meroket dari Rp 12.700.000 menjadi Rp 18.800.000 per bulan.

“Saat itu, atmosfir politis cukup kental. Dan semua berlangsung cepat. Jadi, sebagaimana data sirup LKPP dan LPSE tahun 2021, bisa jadi kegiatan appraisal terkait tunjangan perumahan dewan itu memang tidak ada, “ujarnya. (Laput/red/din)

 

Tinggalkan Balasan