Moch Eksan, Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
Prof Dr KH Ma’ruf Amien benar-benar seorang “bapak” Nahdlatul Ulama (NU) dan Indonesia. Ia tak mau Mengendorse calon wakil presiden dari NU. Ia mengatakan: “Insya Allah mereka semua baik dan bisa. Buktinya saya menjadi wakil presiden kan baik juga. Kita harapkan nanti baik, saya tidak bilang A, B, C, supaya saya tidak mempengaruhi”.
Wakil Presiden mempersilahkan parpol dan masyarakat memilih cawapres NU. Banyak kader NU yang cocok dan bisa menjadi wakil presiden, seperti dirinya. Kiai Ma’ruf membebaskan untuk memilih siapapun tanpa ikut cawe-cawe dalam menentukan salah satu dari sekian nama yang muncul ke publik.
Mustasyar PBNU ini memberi tauladan sebagai sesepuh NU yang tak mengendorse salah satu cawapres NU. Sikap ini patut dicontoh oleh semua orang yang sudah sampai pada top carrier. Sebagai orang tua, semua nama cawapres NU adalah anak-anaknya.
Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, A Muhaimin Iskandar, Nazaruddin Umar, Erick Thohir dan lain sebagainya adalah nama-nama cawapres NU potensial yang dinominasikan oleh publik. Mereka itu semua memiliki hubungan baik dengan Kiai Ma’ruf.
Memang, sikap Kiai Ma’ruf yang paling aman adalah bersikap netral. Bila dalam proses nominasi ini ikut memilih satu demi yang lain, maka ia terlibat dalam konflik kepentingan. Tentu ini berisiko memperburuk hubungan dan tudingan tak adil dari cawapres yang dirugikan.
Apalagi, usia Kiai Ma’ruf sudah masuk ke-80 per 11 Maret 2023 lalu, dan pada 20 Oktober 2024 akan lengser keprabon. Sikap netralnya membuat semua nyaman. Dan tentu ini sangat bagus dalam mandeg pandhito sebagai ulama politisi yang malang melintang di dunia politik semenjak 1971 sampai sekarang.
Sejarah mencatat, bahwa cicit Syeikh Nawawi Al-Bantani ini pernah menduduki jabatan penting dan strategis sedari muda sampai sekarang. Di dunia kepartaian, Kiai Ma’ruf aktif di Partai NU (1971-1973), PPP (1973-1998), PKB (1998-2006), dan PKNU (2006-2011).
Dalam pemerintahan, Kiai Ma’ruf meniti karier dari bawah. Suami Wuri Estu Ma’ruf Amien ini pernah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai NU (1971-1977), Ketua Fraksi PPP (1973-1977), Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PPP (1977-1982), Ketua Fraksi PPP dan Komisi VI DPR RI (1997-1999), Anggota Fraksi PKB dan Komisi I serta Panitia Anggaran DPR RI (1999-2004), anggota Wantimpres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2017-2014), Puncaknya, ia menjadi wakil presiden dari Presiden Jokowi (2019-2024).
Berbagai jabatan di partai dan pemerintahan di atas, merupakan berkah Kiai Ma’ruf tetap konsisten berkiprah di NU dan siyasah keulamaan. Di Jam’iyyah dibidani oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari, Kiai Ma’ruf mengawali karier sebagai ketua ranting GP Ansor Koja pada 1964, ketua cabang GP Ansor Tanjung Priok pada 1965 dan ketua Front Pemuda Lintas Partai (1964-1967), Ketua Cabang NU Jakarta Utara (1966-1970), Wakil Ketua Wilayah NU DKI Jakarta (1968-1976), pengurus LD PBNU (1977-1989), Katib Aam PBNU (1989-1994), Rois Syuriah PBNU (1994-1998). Puncaknya ia menjadi Rois Aam PBNU (2015-2018) dan Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) (2015-2020).
Rekam jejak yang sangat panjang di atas, membuktikan Kiai Ma’ruf tokoh senior yang sangat matang. Pergumulan di partai, pemerintahan dan NU lebih dari cukup untuk husnul khotimah di akhir karier sebagai politisi ulama. Sikap netral dalam proses kandidasi cawapres NU membuat banyak orang kagum. Perjalanan hidup Kiai Banten ini menjadi sumber ketauladanan bagi NU dan Indonesia.
Lain halnya dengan dengan Kiai Ma’ruf, Presiden Jokowi justru sibuk mengkonsolidasikan suara para relawannya untuk tetap satu komando. Ia juga sibuk mengendorse capres dari tokoh-tokoh di lingkar kekuasaannya, baik kolega di kabinet maupun di partai. Ia juga sibuk membangun koalisi dari partai-partai pendukungnya di pemerintahan.
Kritik beberapa pihak agar Presiden Jokowi tak cawe-cawe terhadap kandidasi dan pemenangan capres penggantinya, tak didengar. Ia beralibi bahwa ia juga seorang pejabat publik dan politisi yang berhak ikut menentukan calon presiden terbaik yang paling pas melanjutkan program-program 10 tahun pemerintahannya.
Namun di luar lingkar istana, keterlibatan Presiden Jokowi dalam Pilpres menjadi amunisi lawan politiknya menyerang terus menerus. Mereka khawatir mobilisasi aparatur negara untuk memenangkan capres tertentu. Ini tentu berpotensi abuse of power dan menjadi lampuh merah bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Walhasil, Sikap Kiai Ma’ruf menenangkan dengan ketauladanan tanpa mengendorse cawapres NU. Namun dari sikap Presiden Jokowi mencemaskan dengan ungal-ungalan mengendorse capres yang dikehendakinya.
Sekarang, nasib demokrasi yang free and fair benar-benar berada di persimpangan jalan. Setelah 25 tahun reformasi, apakah demokrasi pada Pilpres 2024 semakin menguatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia? Atau justru sebaliknya? Semua kembali kepada kita.