OPINI PUBLIK
Pemborosan Berbungkus Peraturan
Oleh: Saifudin
Jurnalis tinggal di Jombang
Menjelang akhir masa jabatan Bupati Jombang dan memasuki tahun politik 2024, ada hal tersisa yang layak diapresiade. Bukan sisa, tapi lebih bagaimana produk hukum warisan Pemkab era Bupati Munjidah Wahab bisa dikaji ulang (untuk tidak menyebut dianulir) hingga ketemu takaran yang pas.
Karena jika tidak, apalagi bertahan dengan formasi (baca: produk hukum) yang sekarang, rakyat bakal terancam menanggung kerugian ratusan milyar rupiah hingga batas yang tak berujung. Padahal kerugian sama sekali tidak perlu terjadi, jika pertimbangannya adalah efektifisiensi anggaran.
Tidak hanya menggerus uang rakyat. Tapi juga memicu spekulasi bahkan tudingan, bahwa produk hukum sengaja dibuat dalam semangat pragmatis dan sarat kepentingan. Pada level ini, Bupati dianggap lebih mementingkan kompromi politik ketimbang efisiensi anggaran.
Sekilas, semua nampak baik-baik saja. Karena kebijakan dibungkus dengan label hukum bernama Peraturan Bupati (Perbup) Nomer 5 Tahun 2022 dengan konsideran Perda 6/2017 dan Peraturan Pemerintah (PP) 18/2017 Tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Ini soal tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Jombang yang cukup kentara aroma pemborosannya. Dari PP hingga Perbup, semua bicara klausul yang sama. Yakni Pimpinan dan Anggota DPRD berhak mendapatkan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas sebagai penunjang kinerja.
Terbaru, tunjangan perumahan untuk Ketua Dewan terjadi kenaikan Rp 1.600.000 sehingga menjadi Rp 29.200.000 per bulan. Wakil Ketua Dewan naik Rp 1.400.000 sehingga menjadi Rp 21.800.000 per bulan. Dan anggota Dewan mendapat kenaikan fantastis sebesar Rp 6.100.000 sehingga menjadi Rp 18.800.000 per bulan (Perbup Jombang 5/2022).
Sedang untuk tunjangan transportasi, setiap anggota Dewan menerima kenaikan dari Rp 8.470.000 per bulan pada tahun 2017, kemudian merangkak pada angka Rp 9.700.000 per bulan pada tahun 2020, serta terus meroket menjadi Rp 12.900.000 per bulan pada tahun 2022 atau hanya selang 2 tahun dari Perbup sebelumnya.
Pertanyaannya, kenapa sejak 7 tahun lalu pilihannya selalu pemberian tunjangan (perumahan dan transportasi) dan bukan penyediaan rumah negara serta kendaraan perorangan dinas? Padahal selain angkanya terus meroket dari waktu ke waktu, kebijakan ini juga menyedot uang rakyat hingga batas yang tak terhingga.
PP 18/2017, PP 1/2023, Perda 6/2017, Perbup 60/2017, Perbup 47/2020, serta Perbup terbaru Nomer 5/2022, semua dalam satu bahasa bahwa ketika Pemkab tidak mampu menyediakan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas bagi Pimpinan dan Anggota DPRD, maka opsinya adalah pemberian tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.
Lalu, benarkah Pemkab “tidak mampu” menyediakan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Jombang? Faktanya, sejak 7 tahun opsi pemberian tunjangan terus berjalan dan entah kapan berhenti. Padahal standar harga rumah negara dan kendaraan perorang dinas bagi DPRD hanya setara dengan 3 atau 4 tahun tunjangan.
Hari ini, 3 tahun tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Jombang berarti Rp 680.400.000, dan 4 tahun berarti Rp 907.200.000. juga tunjangan transportasi. 3 tahun berarti Rp 464.400.000, dan 4 tahun berarti Rp 619.200.000. Bukankah angka tersebut terbilang cukup untuk pemenuhan kedua item tunjangan dimaksud?
Merujuk data sirup LKPP tahun 2022, total tunjangan perumahan untuk DPRD mencapai Rp 11.521.200.000 per tahun dan tunjangan transportasi mencapai 7.120.800.000 per tahun. Maka jika opsi pembangunan rumah negara yang dipilih, 3 tahun tunjangan berarti Rp 35 milyar, dan 4 tahun tunjangan berarti Rp 46 milyar. Setelah itu: stop.
Namun jika opsi pemberian tunjangan yang dipilih, maka per 10 tahu saja, anggaran APBD yang tersedot mencapai Rp 184 milyar. Dan itu bakal terus membengkak selama Pemkab masih berteguh dengan klaim “tidak mampu” menyediakan rumah negara dan kendaraan perorangan dinas bagi DPRD. (*)