JOMBANG, TelusuR.ID – Selain bersurat ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jombang pada 9 April 2023 dan surat belum berbalas hingga hari ini, Ketua LSM Almatar (Aliansi Masyarakat Proletar) Jombang juga mengurai sejumlah kejanggalan pada proyek pembangunan taman informasi kawasan perempatan Tugu, Jombang.
Terutama soal penerbitan adendum pada proyek APBD senilai Rp 430 juta tersebut. Terkait hal ini, Ketua LSM Almatar Jombang Dwi Andika melempar 3 pertanyaan. Yang pertama dan sekaligus yang paling prinsip adalah, tolak ukur apa yang dipakai PPK untuk menyatakan tembok masih layak dan tidak perlu dibongkar?
Pada poin ini, tutur Dwi Andika, seorang PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) memang memiliki kewenangan untuk melakukan adendum. Rujukannya adalah huruf a, b, c dan d ayat 1 pasal 54 Perpres 16/2018 sebagaimana telah diubah dengan Perpres 12/2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dimana ketentuan itu menegaskan bahwa jika didapati ada perbedaan antara kondisi lapangan dengan gambar dan/atau spesifikasi tehnis/KAK sebagaimana ketentuan kontrak, maka seorang PPK berhak melakukan perubahan kontrak dalam sejumlah bentuk.
Antaralain menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak, menambah atau mengurangi jenis pekerjaan, serta mengubah spesifikasi tehnis sesuai kondisi lapangan. “Kewenangan menerbitkan adendum memang melekat pada PPK, tapi jangan kemudian bertindak subyektif, “ujar Dwi Andika.
Karenanya, lanjut Dwi, apakah keputusan PPK menerbitkan adendum sudah dibarengi rekomendasi ahli atau sudah melalui uji laboratorium? “Untuk memastikan bahwa konstruksi tembok lama masih layak dan tidak perlu dibongkar, saya pikir tidak bisa sembarangan. Harus ada rekomendasi ahli, dan bukan pendapat subyektif PPK, “tegasnya.
Sementara informasi yang dihimpun menegaskan, tutur Dwi, terbitnya adendum untuk tidak membongkar tembok lama diduga tidak melibatkan rekomendasi ahli atau hasil uji lab. Jika itu yang terjadi, tegas Dwi, maka PPK terancam melakukan tindakan berbahaya karena membuat keputusan tanpa didukung mekanisme yang terukur.
Kejanggalan kedua, lanjut Dwi, adalah soal terbitnya adendum yang terbilang mendadak. Hal ini merujuk pada pernyataan PPK bahwa adendum terjadi di awal pekerjaan. Dengan demikian, tegas Dwi, diduga kuat kinerja konsultan perencana tidak profesional. “Apakah ada sanksi soal ini? “nadanya bertanya.
Sedang kejanggalan ketiga adalah soal isi adendum yang mengalihkan pekerjaan tembok ke pekerjaan urug dan lantai, serta untuk pembelian cctv. Masalahnya, tutur Dwi, hingga sejauh ini pihak PPK belum bersedia menunjukkan dokumen adendum sehingga detail kegiatan ketiganya tidak bisa diakses.
Info yang dikantongi menyebutkan, lanjut Dwi, pekerjaan tembok yang dialihkan ke pekerjaan urug, lantai, dan pengadaan cctv itu bernilai sekitar Rp 80 juta. “Maka pertanyaannya berapa nilai untuk pembelian cctv? Juga, berapa nilai untuk belanja urug dan lantai? Apakah dana pengalihan tersebut bisa terserap habis? Sejauh ini hal itu belum terkonfirmasi, “ujarnya.
Yang terbilang aneh dan janggal, tegas Dwi, adalah pengalihan pekerjaan tembok ke item urug dan lantai. “Saya tidak mengerti apa maksud dari semua ini. Bukankah pekerjaan urug dan lantai sudah masuk pada perencanaan awal? Jika yang dimaksud adalah penambahan volume, sepertinya kok gak masuk akal ya, “nadanya bertanya.
Karena itu jika dalam waktu dekat pihak DLH Jombang tidak memberikan klarifikasi atas surat yang sudah dikirim, tegas Dwi, phaknya akan membawa dugaan penyimpangan ini ke ranah aparat penegak hukum (APH). “Biar semuanya jelas. Apakah nanti terbukti ada kerugian negara atau tidak, “ujarnya. (red/din)