Lahan Baru.., Pasar Baru.., Kasus Baru!

0
292 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID      –      Memasuki penghujung 2022 lalu, Pemkab Jombang tercatat telah mengeksekusi sejumlah petak sawah untuk pengganti TKD (Tanah Kas Desa) Denanyar. Selanjutnya, TKD Denanyar dialokasikan untuk relokasi pasar tumpah jalan KH Mimbar dan Jalan Seroja, kawasan Pasar Citra Niaga Jombang.

Sebanyak Rp 22.550.700.000 dana APBD digelontorkan untuk tanah pengganti. Diantaranya tersebar di Desa Denanyar, Desa Banjardowo, dan Desa Plosogeneng. Dari sekitar 13 hektar yang dipatok, tanah pengganti TKD Denanyar disebut belum seluruhnya dirampungkan oleh Pemkab.

Rupanya, kebijakan strategis dan niat baik Pemkab soal penataan pedagang dan upaya penertiban kawasan Jalan KH Mimbar dan Jalan Seroja dari kemacetan dan pandangan kumuh, tidak sebaik hasilnya. Sejumlah polemik dan pernik kasus disebut turut mewarnai proses pengadaan lahan.

Salah satunya menerpa wilayah kewenangan Disdagrin (Dinas Perdagangan dan Perindustrian) selaku leading sektor dan pengguna anggaran. Mengiringi proses pengadaan lahan, disinyalir muncul pos anggaran yang diduga bermasalah. Yakni soal angka serapan yang diduga melebih pagu, juga munculnya pos alokasi yang diduga debatable soal cantolan.

Pada APBD 2022, Pemkab Jombang melalui Disdagrin telah mengalokasikan Rp 22.550.700.000 untuk tanah pengganti TKD Denanyar. Anehnya, angka yang dibayarkan diduga lebih dari itu. Tepatnya Rp 22.553.853.000 atau terjadi kelebihan Rp 3.135.000. Kecil memang. Namun terbilang pelik untuk ukuran mekanisme penganggaran.

Sejauh ini konfirmasi dari Disdagrin belum berhasil dikantongi. Sehingga skema yang dipilih untuk menutup kurang bayar tersebut tidak diketahui. Dan persoalan ini bakal tidak gampang. Sebab, plot kegiatan APBD sudah harus terjadwal sebelum tahun anggaran berjalan, dan bukannya menyodok di tengah jalan.

Lalu, bagaimana kurang bayar itu dilunasi? Merujuk daftar kegiatan APBD Disdagrin 2023, nampak tidak muncul pos senilai Rp 3.135.000 untuk alokasi bayar hutang. Sehingga pembayaran diduga diambilkan dari pos lain diluar skema baku. Jika itu yang terjadi, tutur Sumber, maka Disdagrin terancam melakukan tindak penyimpangan.

Polemik lain juga bermunculan. Diantaranya dugaan cacat administrasi atas dokumen AJB (Akte Jual Beli) yang berpotensi mengancam keabsahan transaksi. Bahkan jika opsi pembatalan tidak dilakukan, tegas Sumber, Pemkab rentan tertuduh turut meloloskan atau sedikitnya menjadi bagian dari terbitnya dokumen tanah yang diduga sarat rekayasa.

Secara garis besar, tutur Sumber, dugaan rekayasa dokumen AJB terjadi dilevel Pemerintahan Desa (Pemdes). Dimana Pemdes berani menerbitkan dokumen AJB yang diduga terselip piutang atau belum terjadi pelunasan. Juga, Pemdes berani menerbitkan dokumen kepemilikan tanah yang riwayat perolehannya hanya berdasarkan pernyataan sepihak.

Secara konstruksi hukum, tegas Sumber, terbitnya dokumen AJB berarti transaksi sudah dinyatakan final. Pada posisi ini, lanjutnya, dokumen AJB hanya bisa terbit jika proses pembelian ditandai pelunasan bayar serta penyerahan dokumen otentik secara penuh.

“Jika terbukti AJB dibuat sebelum dilakukan pelunasan bayar atau tidak didukung penyerahan dokumen secara lengkap, maka bisa dipastikan dokumen AJB cacat hukum. Karena kasus seperti itu seharusnya masuk mekanisme IJB (Ikatan Jual Beli), dan bukan AJB (Akta Jual Beli), “tegas Sumber.

Pada pengadaan lahan pengganti TKD Denanyar, diketahui muncul AJB Desa tahun 2021 namun pelunasan dilakukan pada akhir 2022 atau terjadi setelah AJB terbit. “Pada kasus ini, Pemdes patut diduga terlibat praktik konspirasi karena menerbitkan AJB sebelum terjadi pelunasan bayar, “ujar Sumber.

Disisi lain, media ini mengantongi dokumen tanah yang riwayat perolehannya hanya berdasarkan pernyataan sepihak. “Tentu saja pihak yang membuat pernyataan tidak pernah salah. Karena pernyataan seseorang tidak berarti apa-apa jika tidak mendapat legalitas dari Pemdes. Pertanyaannya, kenapa Pemdes berani? “nadanya bertanya.

Pada kasus ini, Pemdes diduga tidak melakukan validasi data secara terukur, tapi lebih memilih mempercayai pengakuan seseorang. “Konstruksinya tidak terpenuhi. Seharusnya pernyataan sepihak itu dikonfirmasikan kepada pemilik lama atau ahli warisnya, sehingga terjadi kepastian hukum, “tandasnya.

“Lha ini malah aneh. Hanya berdasarkan pernyataan sepihak, Pemdes sudah berani menerbitkan dokumen kepemilikan tanah. Selain rawan terjadi gugatan, produk seperti itu juga tidak memberikan kepastian hukum. Apalagi dibubuhi embel-embel Pemdes tidak bertanggungjawab jika ternyata pernyataan tersebut tidak benar, “ujarnya. (laput/ali/sadat/din).

Tinggalkan Balasan