JOMBANG, TelusuR.ID – Forum Dengar Pendapat (publik hearing) kasus ruko simpang tiga yang berlangsung bersama Komisi B DPRD Jombang, Senin (27/3/2023), tercatat berlangsung hambar. Tidak ada hal baru. Terutama soal sikap dan sudut pandang Pemkab dalam menangani polemik yang berlangsung.
Secara keseluruhan, Pemkab masih terbilang bertahan dalam kegamangan sikap. Itu terlihat dari pernyataam Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Diadagrin) Jombang, Suwignyo. Menurutnya, penanganan kasus ruko simpang tiga sudah menjadi domain pihak Kejaksaan, sehingga Pemkab tidak ada pilihan lain kacuali tiarap.
Pernyataan Suwignyo seolah menjadi pilihan argumentasi paling cerdas yang dipatok Pemkab. Selain sudah didengungkan sejak 3 bulan lalu, terbukti petinggi Pemkab seperti Bupati atau Sekda tidak pernah membuat pelurusan atas pernyataan Suwignyo. Bisa dibilang, suara Suwignyo adalah suara instansi Pemkab.
Akibat pilihan argumentasi itu, Pemkab tercatat tidak hanya tiarap, tetapi juga tertutup soal akses informasi publik. Beberapa momen menunjukkan sikap penolakan oleh Disdagrin ketika sejumlah elemen masyarakat mengajukan permintaan data soal besaran nominal sewa ruko, termasuk daftar penghuni yang lunas atau yang menolak bayar.
Pada forum hearing yang diinisiasi Aliansi LSM Jombang (ALJ) itu, pihak Pemkab tidak hanya diwakili Kadisdagrin. Tetapi ada Asisten II, juga Kabag Hukum Pemkab. Namun keduanya tidak menawarkan hal baru yang signifikan. Sehingga pendapat dan pandangan yang dilontarkan keduanya tidak cukup merubah atau menggeser argumen yang disuarakan Siwignyo, yaitu Pemkab tiarap.
Dalam kesemapatan itu, Korp Adhiyaksa yang diwakili Kasi Intel Kejari Jombang Deni Saputra, nampak menganulir pernyataan Suwignyo. Menurutnya, tidak benar jika seluruh tanggungjawab penanganan perkara ruko simpang tiga menjadi domain kejaksaan. Tetapi harus dipilah, bahwa Korp Adhiyaksa hanya fokus pada ranah pidana saja.
“Jadi hal-hal terkait kepentingan menutup ruko dan sebagainya, itu bisa dilakukan Pemkab. Yang jelas Kejaksaan hanya fokus pada ranah pidana saja, “tegas Deni seraya menjelaskan bahwa proses penanganan perkara sudah mencapi puncak penyidikan dan penetapan tersangka bakal dilakukan setelah hari raya Idul Fitri.
Ketua Komisi B Sunardi menjawab pertanyaan audien. Yakni soal rekom pansus dewan yang tidak dijalankan oleh Pemkab. Terhadap hal ini, Sunardi berpandangan babwa proses hukum oleh Kejaksaan merupakan bagian dari pelaksanaan rekom pansus. Sehingga tidak bisa disebut Pemkab tidak melaksanakan rekom pansus dewan.
Tanggapan Sunardi dianggap tidak tepat. Karena rekom pansus hanya memerintahkan penutupan ruko, bukan proses hukum. Menanggapi hal itu, anggota Komisi B yang juga Ketua Fraksi PKB Subaidi, melempar jawaban. “Jika rekom pansus diabaikan, DPRD bisa memggunakan hak angket untuk mengetahui apa alasan Pemkab mengabaikan rekom pansus, “ujarnya.
Koordinator Presidium Aliansi LSM Jombang (ALJ), Aan Teguh Prihanto, menilai sikap Pemkab melalui Suwignyo tersebut cenderung merupakan bentuk cuci tangan dan upaya berlindung dibalik ketiak Kejaksaan. “Saya melihat ada upaya sistematis untuk mengkambinghitamkan Kejaksaan. Padahal seharusnya tidak demikian, “ujarnya.
Aan yang juga Ketua LSM Pospera ini menegaskan, bahwa sekalipun proses hukum oleh korp adhiyaksa sedang berjalan, namun tidak berarti Pemkab wajib tiarap. Apalagi untuk masa sewa ruko tahun 2022 dan 2023 yang jelas-jelas diluar ranah kejaksaan. “Pintu masuk Kejaksaan itu LHP BPK terkait dugaan kerugian negara hingga tahun 2021. Jadi jangan digeneralisir, “tegas Aan.
Aktivis berpenampilan gondrong ini menegaskan, khusus untuk masa sewa ruko tahun 2022 dan 2023, dipastikan tidak ada aliran sewa yang masuk ke Pemkab. Sehingga seluruh penghuni ruko dipastikan bersatus ilegal. “Harusnya ruko ditutup dulu. Selain status penghuni yang ilegal, penutuapn diperlukan untuk memunculkan status quo. Tapi selalu saja Pemkab beralasan bahwa perkara sudah ditangani Kejaksaan, “tambahnya.
“Kejaksaan hanya menangani dugaam kerugian negara. Bukan penutupan ruko. Penutupan itu domain Pemkab. Tanpa atau ada keterlibatan Kejaksaan, mekanisme SHGB menjelasakan bahwa ruko simpang tiga adalah milik Pemkab. Jadi jangan dibolak-balik hanya untuk menutupi kegamangan sikap. Lagi pula darimana logika Pemkab harus tiarap itu diambil? “tegasnya. (red/laput/udin)