JOMBANG, TelusuR.ID – Proses. Begitu kata mereka. Satu kata yang enteng diucap dan seharusnya tidak sulit dimaknai. Ia menunjuk satu situasi bahwa segalanya butuh waktu, pendalaman, pematangan, dan ketangguhan sudutt pandang. Ya, proses. Semua tidak boleh berlangsung instan.
Proses. Selain diperlukan untuk bisa sampai dan menyentuh hasil optimal, juga secara alamiah tidak mungkin bisa dihindari. Jalan bim salabim hanyalah milik para pesulap. Lintasan Abrakadabra hanya bisa dilalui oleh pemain sirkus. Sedang diluar itu, semua perlu proses dan butuh rentang waktu.
Tentu saja rentang waktu yang dimaksud itu harus berujung deadline. Tentu, pendalaman dan pematangan yang ditempuh harus bermuara pada terpenuhinya detail sebuah unsur. Ya, bukan proses yang tanpa ujung. Bukan pendalaman yang tanpa kalkulasi. Dan bukan pencarian yang tidak terbatas.
Rentang waktu itu sudah dimulai sejak awal 2023. Tepatnya awal Januari lalu. Berarti sudah berlangsung 3 bulan. Itu belum termasuk tambahan proses pada ruang pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan). Jika dirunut, seluruh proses yang ditempuh sudah memakan waktu dikisaran 6 bulan.
Tiba-tiba topik tentang rentang waktu menjadi sesuatu yang seolah tak terjamah. Ia bergeser makna karena terseret arus subyektivitas. Diksi tentang cukup dan tidak cukup menjadi sesuatu yang personal. Ia cenderung dimaknai sesuai ruang selera dan garis kepentingan. Dan publik, seolah tidak lagi bisa turut campur.
Padahal ini hanya persoalan yang terbilang remeh-temeh. Hanya soal dugaan kerugian negara. Sebuah dugaan dengan petunjuk awal yang jelas berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Ini tentang aset daerah yang seharusnya berujung PAD tetapi hasilnya nol rupiah dan nol transaksi sewa.
Praktik itu diketahui berlangsung 5 tahun sejak 2017 hingga 2021. Bukan pembiaran. Karena meskipun terlambat, Bupati akhirnya menerbitkan SK tarif sewa ruko pada 2021. Dimana satu unit ruko ditarif sewa sekitar Rp 100 juta per 5 tahun. Ini bentuk tindaklanjut LHP BPK yang ditolak penghuni ruko.
Tidak semua penghuni, memang. Sebagian ada yang bayar sewa dengan cara diangsur meki tidak pernah diketahui berapa nominal persisnya. Sedang sebagian kecil yang lain sudah melakukan pelunasan. Ditolak, karena pembayaran sewa ruko diwarnai atmosfir tekanan. Dan hari ini, temuan BPK berujung tidak pernah terlunasi.
Korp Adhiyaksa ambil peran. Awalnya masuk ruang Datun. Dimana Jaksa sebagai pengacara negara dilibatkan dalam proses penertiban dan penyelamatan aset daerah. Kemudian dilanjut ke bidang Intel. Yang berarti perkara sudah masuk ranah penegakan hukum. Dan sejak Januari lalu perkara telah beranjak ke tahap Lid bidang Pidsus.
Artinya, bidang Pidsus sudah bekerja dalam rentang 3 bulan. Namun kabar tentang penetapan tersangka tak kunjung terdengar. Mungkin masih dalam proses. Mungkin masih butuh waktu. Dan soal berapa tambahan waktu yang dibutuhkan, serta berapa takaran waktu yang dianggap cukup, hari ini pemaknaan kata ‘proses’ tidak lagi sesuatu yang gampang.
Tafsir tentang terpenuhinya 2 alat bukti yang cukup, seolah bukan domain publik untuk boleh mencicipi pemahaman. Materi hukum seperti LHP BPK dan SK Bupati tentang tarif sewa ruko, entah dianggap apa. Juga, sikap penghuni ruko yang tak kunjung melakukan pelunasan sewa, entah masuk kategori tafsir yang mana.
Mungkin, tafsir tentang 2 alat bukti yang cukup memang tidak sedangkal yang aku pikir. Sama dangkalnya ketika aku berfikir bahwa menutup ruko atau mengusir penghuni dari sana seharusnya tidak serumit ini. Dan pagi ini, secangkir kopi panas mengajakku tetap terjaga untuk senantiasa bahagia hidup di Indonesia Raya. (din)