New Simpang Tiga (34): DINDING RUKO SIMPANG TIGA DIPENUHI WAJAH PEMGUASA

0
240 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID      –      Sore di pelataran ruko Simpang Tiga, Jombang. Pedagang kaki lima nampak memulai geliat ekonomi. Beberapa orang sibuk mendorong gerobak untuk pajangan lapaknya. Jajanan soto ayam, pangsit mie, dan kue gorengan, tiba-tiba menjelma sebagai iconik ekonomi kaum pinggiran.

Menjelang bedug maghrib dan setelahnya, ketiga lapak kaki lima yang menempati pelataran dan emperan ruko Simpang Tiga itu tak henti dari deru motor pengunjung. Silih berganti. Datang dan pergi. Beberapa tukang parkir turut mengais rezeki. Hingga kira-kira pukul setengah 10 malam situasi kembali sepi.

Di pelataran ruko bagian timur, pemandangan kontras cukup menusuk mata. Dari beberapa PKL yang menjajakan makanan dan menjajakan harapan, nampak hanya satu dua pengunjung yang mampir menikmati sajian. Sementara di belakang ruko, sekelompok penggemar bola sodok nampak asyik dengan dunianya sendiri, tak perduli keadaan sekitar.

Seperti gula dan semut, situasi seperti itu selalu terulang menjelang sore hingga malam hari. Selalu begitu, dan berlangsung setiap hari. Sudah lama. Bertahun-tahun. Akan selalu begitu. Dan tak ada urusan dengan polemik yang mendera palataran dan emperan ruko yang mereka tempati untuk berjualan.

Ya, polemik konyol. Polemik yang didalamnya mengabarkan sikap gamang elit penentu kebijakan. Para penguasa. Polemik yang didalamnya beraduk jutaan rasa. Antara pura-pura buta dan tuli padahal mereka paham bahkan menguasai panggung. Antara pura-pura bodoh padahal mereka punya maksud tertentu yang entah apa namanya.

Sekali waktu silahkan mereka datang dan menyaru sebagai penikmat jajanan kaum nisbi. Mungkin mereka nongkrong di kursi soto ayam atau duduk lesehan di lapak pangsit mie. Sambil menatap bangunan ruko yang ada didepannya. Sesekali padangan jatuh ke lantai dua gedung ruko. Sepi. Hanya pendaran cahaya menyapu tembok-tembok kokoh itu.

Ditengah samar cahaya dan samar segala maksud, tembok lantai dua ruko nampak seperti goresan mozaik. Sebuah gambar yang disusun dari potongan-potongan kecil peristiwa kesejarahan ruko Simpang Tiga yang sarat kepentingan. Ada pamer kuasa, ada potret pemanjaan ego sektoral, tentang perlindungan sesama kolega, termasuk masalah klasik tentang kepentingan perut.

Ya. Kepentingan kekuasaan yang lebih dimaknai sebagai simbol kekuatan. Sikap adigang-adigung, dan prinsip suka-suka gua. Ya, perlindungan sesama kolega. Antara satu pemimpin dan pemimpin berikutnya seperti satu koor untuk saling menutupi aib. Juga, kepentingan perut yang diduga bermuara pada oknum tertentu.

Ditengah hamparan mozaik yang tidak lagi bisa dihitung detailnya itu, tiba-tiba menyeruak sebuah potongan wajah. Seperti pas foto ukuran 3 x 4. Serba hitam putih. Bukan satu. Tapi banyak. Berjejer. Berderet. Wajah-wajah yang melempar senyum kecut dan meremehkan siapapun yang memandangnya.

Wajah-wajah yang tersamarkan. Tetapi cukup kuat menggores dan terpampang di tembok-tembok ruko Simpang Tiga. Wajah yang hanya diam tapi seperti bersuara. Tentang sebuah pesan dan penegasan. Bahwa apapun yang kou perbuat tentang ruko Simpang Tiga, semua akan berakhir sia-sia.

“Silahkan menggelar aksi demo sepuasnya, bila perlu setiap hari. Silahkan menempuh jalur apapun, dan masuk ke ruang-ruang hearing atau audensi. Silahkan terbitkan bertumpuk-tumpuk rekomendasi dan audit lembaga malaikat, bila perlu. Tapi ketahuilah, bukan kamu, tapi kami yang berkuasa…, “lirih suara seperti meluncur dari wajah-wajah yang ada di tembok ruko. (din)

 

 

Tinggalkan Balasan