JOMBANG, TelusuR.ID – Tanah milik Gono Sapto Rahardjo adalah contohnya. Lahan seluas 6.327 meter persegi di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan yang dibeli Pemkab untuk pembangunan Sentra PKL Alun-alun itu tercatat mengantongi 3 versi harga.
Pada 2021, lahan tersebut dibandrol Rp 16,2 milyar atau Rp 2.560.000 per meter persegi oleh lembaga appraisal (belakangan muncul kabar penetapan dilakukan oleh P2T). Kemudian pada 2022, lembaga appraisal yang lain membandrolnya di angka Rp 5,2 milyar atau Rp 821.000 per meter persegi.
Puncaknya, yakni pada penghujung 2022, PN Jombang telah menganulir angka Rp 5,2 milyar dan sekaligus melakukan penetapan harga tanah milik Gono di angka Rp 10,7 milyar atau Rp 1,7 juta per meter persegi.
Tercatat, putusan PN menjadi akhir dari rangkain polemik tanah milik Gono. Ini karena upaya banding tidak dilakukan para pihak, sehingga putusan PN menjadi berkekuatan hukum tetap.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin satu obyek tanah bisa mengantongi 3 versi harga berbeda? Memangnya serumit apa menentukan nilai komersial tanah sehingga memunculkan harga beragam dengan disparitas angka cukup tajam?
Bagaimana mungkin lembaga appraisal yang kinerjanya berbasis akademik tidak mampu memberikan kepastian hukum? Yang menggelitik nalar publik, tanah milik Gono ternyata semakin kesini semakin dibandrol murah, kok bisa ya?
“Sulit diterima nalar. Bagaimana mungkin tanah yang sebelumnya ditarif Rp 16,2 milyar, tiba-tiba pada setahun berikutnya terjun bebas di angka Rp 5,2 milyar? Selain tidak lazim secara hukum pasar tanah, penurunan tarif hingga 60 persen juga sulit diterima nalar, “ujar Sumber.
Perbedaan angka yang teramat mencolok itu pada akhirnya memantik pertanyaan serius. “Darimana 2 versi harga itu muncul? Bagaimana mungkin satu obyek tanah bisa berlabel 2 harga dengan rentang selisih bak bumi dan langit? “sergahnya.
Secara umum, tegas Sumber, kinerja appraisal didasarkan pada 2 aspek besar. Yakni material dan non material. Pada aspek material, tuturnya, jangkauan disiplin matematika tidak sulit menafsirkan nilai obyek tanah ke dalam angka.
Material fisik seperti tanah, bangunan, pepohonan, dan item lain yang bersifat kebendaan, tegas Sumber, dipastikan tidak sulit untuk dikonversikan ke dalam angka melalui rujukan harga pasar, harga satuan pemerintah, atau standar nilai lain yang keabsahannya dijamin undang-undang.
Kesulitan appraisal justru terjadi pada aspek non material. “Jika pada satu lahan terdapat tempat usah seperti toko misalnya, maka ganti rugi tidak sebatas pada nilai bangunan toko, tapi potensi bisnis jika toko dipindah ke tempat lain juga harus dihitung. Karena parameternya tidak baku, seringkali hasilnya memicu selisih tajam, “ujar Sumber.
“Aneh saja. Masak harga tanah semakin kesini semakin murah. Itu jelas tidak lazim. Apalagi tanah Gono terkondisi tanpa bangunan. Sehingga urusannya hanya berkutat soal harga pasar. Tapi anehnya, kenapa bisa muncul perbedaan angka yang begitu ekstrim hingga 60 persen? “nadanya bertanya.
Sumber menduga, 2 harga appraisal yang melabeli tanah milik Gono cenderung berbau ‘permainan’. Berangkat dari dugaan tersebut, tutur Sumber, maka penetapan harga pada lahan milik ‘tetangga Gono’ perlu dilakukan validasi karena keduanya memiliki kesamaan sifat, ruang dan waktu.
“Jika mekanisme penetapan harga lewat peradilan menjadi tolak ukur, maka tanah milik ‘tetangga Gono” perlu diuji lewat mekanisme serupa. Faktanya, tanah Gono terjadi turun tarif hingga 30 persen. Dengan argumen yang sama, tanah milik ‘tetangga Gono’ harusnya juga turun 30 persen agar pembelian lahan oleh Pemkab terjadi rasionalisasi harga, “ujarnya. (red/din)