JOMBANG, TelusuR.ID – Melelahkan. Seorang Sumber menyebut, mengikuti pola pikir dan gaya penyelesaian kasus simpang tiga yang diterapkan Pemkab, sungguh sesuatu yang melelahkan.
“Bagaimana tidak melelahkan, wong mindsetnya tidak jelas. Antara taktik perang dan sikap gamang hanya beda-beda tipis. Pada akhirnya tidak hanya melelahkan, tapi membosankan. Publik hanya disuguhi retorika, “tegas Sumber berlatar pegiat LSM.
Hari ini, tuturnya, setelah semua janji dan harapan di obral ke tengah publik, nyaris tidak satu pun terjadi progres yang mengabarkan kasus bakal segera selesai. Sebaliknya, “Perjalanan kasus kian bersimpang-simpang, dan api kian jauh dari panggang, “ucapnya beriring geleng kepala.
Ia lantas menunjuk dua peristiwa penting yang terjadi pada pekan ketiga Januari ini. Menurutnya, dua peristiwa itu telah mengabarkan sebentuk potret penyelesaian kasus yang kian jauh dari kata selesai. Setidaknya, tidak terjadi dalam waktu dekat.
Yakni belum terbitnya SK Bupati tentang tarif baru ruko paska temuan LHP BPK (atau masa sewa ruko tahun 2023 dan seterusnya), sehingga praktik pembiaran berpotensi terulang dan bakal memicu terjadinya blunder.
Juga, upaya penyelesaian kasus melalui jalur penegakan hukum (pidana) untuk menghadirkan atmosfir ‘ancaman’ bagi penghuni yang menolak bayar, yang nampaknya belum seluruhnya efektif.
Sumber menegaskan, efek jera yang diharapkan itu belum terjadi pada penghuni. Catatan terakhir jalur penegakan hukum menegaskan, tutur Sumber, dari total piutang sewa ruko yang mencapai Rp 5,2 milyar itu hanya mampu tertagih kurang dari 20 persen.
Kecuali mantan Sekdakab Jombang (melalui suaminya Taufikurrahman) yang tercatat melakukan pelunasan sewa, dari 55 penghuni, bahkan hanya 2 orang saja yang bersedia teken pernyataan sanggup bayar. “Memang ada progres. Tapi secara keseluruhan, efek jera itu tidak terjadi, “ujar Sumber.
Yang lebih membingungkan, tuturnya, penegakan hukum oleh Kejari yang diharapkan bisa berlangsung tegak lurus, ternyata kinerjanya tidak mampu dijangkau logika awam. Tentu penyidik tidak perlu mengumbar strategi penanganan perkara ke publik, sergahnya, namun ketertutupan yang terlalu lama bisa menjadikan awam gagal paham.
“Ini sudah masuk hari ke 18 perkara simpang tiga ditangani Pidsus. Namun penetapan tersangka belum juga dilakukan. Tentu penyidik punya argumen dan strategi soal penangan perkara, namun proses yang terkesan berjalan lambat itu membuat publik gagal paham atas apa yang dicari dan dibutuhkan tim pidsus, “ucapnya.
Disisi lain, Sumber menilai, tampaknya Pemkab terlalu larut dalam uforia penanganan perkara oleh Kejaksaan tapi abai terhadap domain yang menjadi tanggungjawabnya.
“Kejaksaan hanya menangani dugaan kerugian negara yang menjadi temuan BPK saja. Itu artinya Kejaksaan hanya fokus pada rentang sewa 2017 hingga 2021. Sedang untuk sewa selanjutnya, itu murni domain Pemkab. Tapi yang terjadi, Pemkab cenderung tidak melakukan apa-apa. Penerbitan SK tarif baru sewa ruko belum dilakukan. Sehingga praktik pembiaran berpotensi terulang sebagaiman awal kasus ini pecah, “ujarnya.
Jika Pemkab ogah disebut gamang dalam bersikap, tegas Sumber, seharusnya masuk 2023 ini Pemkab mengambil langkah tegas berupa pengosongan ruko dari penghuni.
“Ini penting untuk mempertegas status quo. Pertimbangannya, karena Pemkab tidak mungkin memungut retribusi sewa ruko tahun 2023 seiring belum terbitnya SK Bupati tentang tarif baru sewa ruko, “ucapnya.
“Jika langkah tegas dalam bentuk pengosongan ruko itu pada akhirnya memicu aksi gugatan ke pengadilan, itu hanya sebentuk konsekuensi. Dan itu hal biasa. Tapi poin pentingnya adalah Pemkab sudah mengambil tindakan tegas dan terukur, dan terpenting tidak gamang lagi, “ucapnya. (red/laput/udin).