New Simpang Tiga (8): DIDUGA, PENGHUNI BERTAHAN KARENA FAKTOR X

0
217 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID   –   Penyelesaian polemik ruko simpang tiga yang terbilang bertele-tele itu pada akhirnya memicu pertanyaan prinsip: yakni alasan kuat apa yang menjadikan penghuni ruko begitu ngotot bertahan?

Kecuali sedikit harapan bahwa gugatan terhadap produk hukum Tergugat III (BPN Jombang) bisa dikabulkan majelis hakim, seluruh proses peradilan perdata yang saat ini tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Jombang, sebut seorang Sumber, tidak akan berimplikasi pada apapun.

Sedikit harapan itu adalah, tutur Sumber, jika saja gugatan terhadap Tergugat III pada akhirnya bisa dikabulkan majelis hakim, maka umur SHGB ruko simpang tiga tidak lagi habis pada 2016, melainkan diperpanjang hingga (sedikitnya) tahun 2026. Sejauhmana peluang itu dimungkinkan? disinilah pertaruhan itu dipasang.

Terkait dengan hal itu, Sumber di internal BPN Jombang mengaku tidak khawatir. Ia bahkan menyebut pihak penggugat tidak paham mekanisme penerbitan SHGB.

Gugatan yang menyoal masa berlaku SHGB hanya 20 tahun dan seharusnya (menurut penggugat) 30 tahun itu, tutur Sumber tersebut, hanya berlaku pada SHGB di atas tanah negara. Sedang pada hak milik dan hak kelola (SHPL), masa berlaku SHGB bergantung pada rekom pemilik.

“Untuk SHGB ruko simpang tiga, Pemkab Jombang selaku pemegang SHPL atau pemilik aset, hanya memberikan rekom 20 tahun. Masak BPN harus menerbitkan masa berlaku 30 tahun? Aneh dong, “ujarnya.

Lebih jauh Sumber menegaskan, bahwa sejak 2017 hingga hari ini, SHGB ruko simpang tiga sudah tidak ada kekuatan hukum sekali pun secara fisik belum ada penghapusan. “Ibarat SIM, jika masa berlaku habis, maka pengendara akan disanksi tilang. Begitu pun SHGB ruko simpang tiga, “tandasnya beranalogi.

Selebihnya, gugatan terhadap Tergugat I dan Tergugat II disebut tidak akan merubah apapun. Karena sekali pun gugatan dikabulkan, misalnya, obyek pembatalan hanya berlaku untuk produk kebijakan Pemkab dan DPRD, sedang SHGB yang habis pada 2016 tetap mengikat secara hukum.

Lalu, alasan lain apa yang menjadikan penghuni tetap ngotot jika faktanya mereka tidak memiliki dasar untuk tinggal? Juga, kenapa sejak 2017 Pemkab tidak cukup keberanian untuk mengosongkan ruko?

Terkait hal itu, sejumlah perdebatan sempat muncul mengiringi perjalanan polemik. Antaralain perjanjian antara Pemkab dan pihak PT yang diduga cacat hukum karena dilakukan sebelum SHPL terbit, juga kedudukan Pemkab sebagai pelaku perjanjian yang keabsahannya diragukan karena diduga menyerobot kewenangan Pemerintah Provinsi.

 

Sayangnya, dugaan ini belum terkonfirmasi karena hari ini Pemkab Jombang memilih tiarap. Kepala BPKAD Pemkab Jombang, Nasrulloh, yang dikonfirmasi soal status aset sebelum terbit SHPL, menampik memberikan jawaban.

“Persoalan aset ruko simpang tiga sudah ditangani APH (Kejari Jombang, red). Agar tidak mengganggu kinerja APH, kami dihimbau untuk tidak memberikan statemen, “tulis Nasrulloh kepada Telusur.id, Rabu (7/12/2022).

Begitu pun dengan Bagian Hukum Pemkab Jombang. Pengajuan wawancara yang dilayangkan Telusur.id kepada salah satu Kepala Bidang, (Rabu (7/12/2022), tidak pernah direspon. Padahal sebelumnya ia berjanji akan buka suara.

Perdebatan itu memang berada di wilayah lain dan seharusnya diselesaikan dengan mekanisme yang lain pula. Yang jelas, sejak pertengahan 1996, Pemkab Jombang sudah mengantongi SHPL atas obyek simpang tiga, dan itu bukti final yang tak terbantahkan.

Juga, paska 2016 hingga hari ini, SHGB ruko simpang tiga tercatat tidak mengalami perubahan status apapun. Baik perpanjangan, pembaruan, atau bahkan peralihan hak (SHM, red). Sehingga seluruh polemik bisa dibahasakan dengan sederhana, bahwa sejak 2017, obyek simpang tiga resmi kembali ke Pemkab.

Lalu kenapa Pemkab tidak berani tegas melakukan upaya pengosongan ruko? Juga, kenapa penghuni ruko terkesan “tidak takut” untuk segera beranjak dari simpang tiga?

Rupanya, ada faktor X (baca: misterius) yang menjadikan penghuni memilih tetap bertahan. Dari informasi yang dihimpun dari beberapa Sumber, bahwa sejak 2017, diduga kuat penghuni ruko telah membayar sejumlah kompensasi untuk bisa tetap tinggal disana.

Benarkah itu yang terjadi? Jika dugaan itu benar, Lalu berapa besaran kompensasi yang sudah dibayarkan? Siapa penerima setoran dan kenapa masih muncul tagihan BPK hingga kisaran Rp 5 milyar? Terhadap semua dugaan itu, Telusur.id akan melaporkannya pada edisi pekan depan. (red/laput/udin)

Tinggalkan Balasan