JOMBANG, TelusuR.ID – Sedikit mulai terkuak kenapa selama ini penghuni ruko begitu ngotot bertahan dan ogah beranjak dari simpang tiga yang yuridisnya tercatat milik Pemkab Jombang itu. Sedikitnya ada 2 hal yang menjadi pemicu utama, selain sejumlah faktor yang lain.
Berdasarkan keterangan yang didapat dari Sumber dikalangan ruko simpang tiga, dua hal itu adalah, pertama, mereka bertahan karena menunggu jawaban dari Pemkab terkait permohonan perpanjangan SHGB yang diajukan sejak 9 Juni 2016 lalu.
Mereka melakukan itu karena meyakini pihak Pemkab wajib memberikannya berdasarkan ketentuan perjanjian Nomer 01 Tahun 1996. Karena itu, berap pun lamanya, mereka akan bertahan di ruko simpang tiga sampai ketemu jawaban: Ditolak atau Disetujui.
Alasan kedua, tutur Sumber, penghuni berpemahaman bahwa sejak masa berlaku SHGB habis, maka masa berlaku SHPL sebagai landasan terbitnya SHGB juga turut habis. Pemahaman ini merujuk pada ketentuan (menurut versi penghuni) bahwa dasar bisa dilakukan pemecahan SHGB menjadi 57 unit ruko adalah pelepasan hak SHPL.
Dengan demikian, menurut Sumber, sejak masa berlaku SHGB ruko simpang tiga habis pada Oktober 2016, sejak itu pula masa berlaku SHPL juga habis. Dengan habisnya (hapusnya) masa berlaku SHPL akibat pelepasan hak, maka sejak 2016 kepemilikan Pemkab atas aset simpang tiga juga turut berakhir.
Selain dua alasan tersebut, lanjut Sumber, penghuni juga berpemahaman bahwa setiap pihak yang menguasai tanah negara dalam hitungan waktu tertentu serta secara tertib bersedia membayar retribusi, maka pihak tersebut berpeluang melakukan peningkatan hak dari SHGB menjadi SHM (Sertifikat Hak Milik).
Tentu, sejumlah hal lain sebagaimana tertuang dalam petitum gugatan perdata yang dilayangkan pihak penghuni ruko ke PN Jombang sejak 6 Desember lalu, juga menjadi faktor tambahan untuk penghuni tidak segera beranjak dari simpang tiga.
Menanggapi argumen pihak penghuni, terutama soal masa berlaku SHPL habis seiring habisnya masa berlaku SHGB, pihak BPN Jombang yang dikonfirmasi melalui sambungan telepon genggam, Selasa (23/12/2022), menegaskan hal berbeda. “Masa berlaku SHPL tidak ada batasnya, “tegasnya kepada Telusur.id.
Ia menjelaskan, pelepasan hak sebagai dasar pemecahan SHGB sebagaimana dimaksudkan pihak penghuni ruko tidak berlaku pada lahan SHPL, tapi hanya berlaku pada lahan hak milik (private). “Makanya perikatan pada SHPL tidak menggunakan AJB (Akte Jual Beli), tetapi menggunakan Surat Perjanjian, “terangnya.
Sebagaimana diketahui, dasar perikatan antara Pemkab dan PT Suryatamanusa Karya Pembangunan (SKP) untuk pembangunan 57 unit ruko di atas lahan bekas terminal Mojongapit yang kemudian dikenal dengan sebutan ruko simpang tiga adalah Perjanjian Nomer 01 Tahun 1996.
Perjanjian dibuat berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomer 3)1996 tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak Ketiga. Tujuan diberlakukan ketentuan ini adalah dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah, peningkatan PAD, serta dalam rangka penataan kota sesuai Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
Perjanjian antara Pemkab dan PT SKP juga merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Jombang Nomer 16/1992 tentang Penyertaan Modal Daerah kepada Pihak Ketiga. Serta didukung Surat Keputusan DPRD Jombang Nomor: 171.2/05/405.20/1995 tentang Persetuan Kerjasama Pemkab dengan Pihak Ketiga.
Sementara legalitas perjanjian antara Pemkab dan PT SKP diterbitkan Notaris Linda Puspitasari pada hari Rabu, 10 Juni 1996. “Lagian aneh juga kalau terbitnya SHGB harus didasari pelepasan hak (atau hapusnya) SHPL, bisa-bisa seluruh aset negara habis dimiliki pihak ketiga tanpa transaksi jual beli, “ujar Sumber di BPN Jombang. (red/laput/udin)