JOMBANG, TelusuR.ID – Bukan rahasia umum lagi. Pengadaan barang dan jasa Pemerintah secara epurchasing melalui ekatalog terbilang rawan praktik Pat gulipat. Sistem pengadaan barang oleh Instansi Pemerintah yang sebenarnya dirancang aman dari tindak korupsi ini malah gampang diobok-obok.
Modus secara umum, sebelum pemilik dana melakukan klik pembelian, terlebih dulu terjadi komunikasi antar pihak diluar sana untuk sebuah kata sepakat atas harga barang yang akan dipilih. Tentu, didalamnya juga disepakati besaran uang pengembalian atau bonus (cashback) yang akan diterima pihak pembeli (dalam hal ini OPD).
Sehingga yang nampak mata, seluruh transaksi seolah berjalan wajar. Bahkan harga satuan yang dipatok juga standar pasaran. Hanya permainan itu seringkali jatuh pada pilihan merk. Dengan spesifikasi yang sama untuk merk berbeda (apalagi merk tidak branded dan tidak marketable), secara umum terjadi selisih harga cukup tajam.
Dalam kaitan itu, informasi yang dihimpun Telusur.id menyebutkan, pada tahun anggaran 2022 ini, salah satu OPD Pemkab Jombang tercatat telah menerima kucuran dana dari Kementerian sebesar Rp 4,4 milyar. Oleh OPD tersebut, dana kemudian dibelanjakan barang secara epurchasing melalui ekatalog.
Dari tampilan daftar harga yang muncul dilapak ekatalog, satu unit barang yang dipesan itu dibandrol sebesar Rp 3,4 milyar. Seluruh transaksi berlangsung aman. Dan barang pesanan sudah sampai dilokasi tujuan. Hanya anehnya, dari harga tersebut, pihak OPD dikabarkan menerima uang cashback sebesar Rp 600 juta. Kok bisa?
Bagaimana kronologi cashback berlangsung dan sampai di tangan petinggi OPD? Lalu, apa nama dan fungsi barang yang hanya satu unit itu sehingga harus dibandrol Rp 3,4 milyar? Juga, apa merk dan spesikasi barang yang lolos dari pengawasan itu? Telusur.id akan mengungkapnya pada edisi awal tahun sebagai hadiah tahun baru.
Sebagai atmosfir, proyek pengadaan barang dari salah satu Kementerian ini tidak hanya berlaku di Jombang. Tapi di OPD yang sama yang ada di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Dibanding OPD Kabupaten/Kota lain, kucuran dana untuk Jombang tergolong kecil yakni hanya Rp 4,4 milyar.
Hebatnya, kucuran dana kementerian itu tidak akan pernah muncul di permukaan. Baik melalui saluran LPSE atau lapak Sirup LKPP. Belum diketahui, regulasi apa yang menguatkan dana tersebut untuk tidak muncul ke permukaan. Yang jelas, situasi serupa juga berlangsung pada OPD yang sama yang ada di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
Yang tak kalah menarik, sisa anggaran sebesar Rp 1 milyar dikabarkan tidak diketahui keberadaannya. Namun seorang pelaku pengadaan yang berlatar importir mengaku mengetahui alur aliran dana tersebut. Dia bahkan mengantongi SK Dirjen tentang penggunaan dana Kementerian yang tidak sembarang orang bisa memiliki.
“Saya berani pastikan, selain kelompok penyedia yang dipilih untuk terlibat dalam proyek Kementerian ini, tidak satu pun pihak bisa mendapatkan SK Dirjen. Karena sebenarnya SK ini cenderung rahasia, “tegasnya seraya menjelaskan detail SK tersebut kepada Telusur.id. (red/din)