Swakelola Yang Srempet Bahaya

0
342 views
Bagikan :

JOMBANG, TelusuR.ID   –   Keputusan sudah diambil. Terkait penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang tahun anggaran 2022, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Pemkab Jombang telah memilih swakelola tipe 4 sebagai metode pelaksanaan anggaran. 

Dan itu diperbolehkan. Sedikitnya, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tehonologi (Permendikbudristek) Nomer 3 Tahun 2022 tentang Petunjuk Operasional Dana DAK Fisik Bidang Pendidikan tahun 2022, telah menjadi payung hukum soal itu.

Melalui petunjuk operasional tersebut, sang Menteri telah membuka ruang kebebasan untuk memilih. Yakni dana DAK Fisik bidang pendidikan bisa dilangsungkan secara swakelola, juga bisa melalui pintu penyedia. Pasal 8 ayat 2 Permedikbudristek Nomer 3 Tahun 2022 telah mempertegas soal itu. 

Keputusan Disdikbud Jombang yang memilih swakelola tipe 4 sebagai metode pelaksanaan DAK Fisik bidang pendidikan tahun 2022 juga terbilang sah secara regulasi. Selain merujuk ketentuan Perpres 12/2021 tentang perubahan atas Perpres 16/2018, Peraturan LKPP (Perlemb) Nomer 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola adalah cantolannya. 

Dari 7 kriteria musabab boleh dilakukannya kegiatan swakelola sebagaimana ketentuan Perlemb 3/2021, klausul efisiensi anggaran sepertinya dipilih sebagai rujukan. Dalam kaitan ini, regulasi membolehkan Disdikbud Jombang untuk mengklaim bahwa metode swakelola lebih efisien dibanding metode penyedia. 

Dengan demikian, keputusan Disdikbud Jombang melaksanakan paket DAK Fisik bidang pendidikan tahun 2022 secara swakelola tipe 4 berdasarkan ketentuan Permedikbudristek 3/2022 dan Perlemb 3/2021 sudah terbilang sah dan terbebas dari segala perdebatan. Setidaknya dari sisi cantolan hukum.

Hanya masalahnya, benarkah pilihan swakelola benar-benar menjanjikan efisiensi anggaran? Padahal jika dibanding metode penyedia, aspek penghematan anggaran oleh swakelola dipastikan kalah jauh. Nampaknya tidak kesitu maksud dari efisiensi, tapi Disdikbud Jombang lebih mengalokalisir pengertian pada kualitas produk atau mutu bangunan. Dan itu sah. 

Meski secara regulatif pilihan swakelola terbilang aman, namun pada perjalanannya, pemenuhan aspek administratif tidak semulus yang diperkirakan. Belakangan, Profil Komite Sekolah (sebagai Pokmas) yang menjadi ujung tombak swakelola tipe 4 sebagaimana ketentuan regulasi, mulai disoal keabsahan tupoksi dan kompetensinya.

Anehnya, proyek swakelola tipe 4  dilingkungan Disdikbud Jombang tahun anggaran 2022 seluruhnya dikerjakan oleh Komite Sekolah. Sekilas, tidak ada yang salah, memang. Karena Komite Sekolah termasuk kategori Pokmas. Hanya pertanyaannya, kenapa hanya Komite Sekolah? Benarkah tidak ada Pokmas lain yang layak mengerjakan? 

Hari ini, setelah pelaksanaan swakelola memasuki sejumlah progres, klaim efisiensi itu tengah diuji. Bukan soal kualitas bangunan, tapi masih seputar kecakapan administrasi. Yakni soal penyaluran dana yang tidak langsung ke rekening Komite Sekolah, juga soal jadwal pelaksanaan yang terancam molor, serta soal kompetensi Pokmas yang terindikasi cacat hukum.

Terhadap aspek distribusi anggaran yang tidak langsung ke rekening Komite Sekolah, muncul sebuah klaim bahwa langkah ini diambil lebih karena alasan pengamanan. Pada argumen ini, Komite Sekolah dipandang sebagai lembaga yang rentan penyimpangan sehingga belum layak menerima anggaran secara langsung. 

Munculnya terminasi pencairan anggaran juga tidak jauh dari pandangan yang mendiskreditkan itu. Terminasi, disebut dilakukan sebagai bentuk kontrol atas progres pekerjaan. Padahal sikap ini cenderung tidak masuk akal. Karena mendiskreditkan profil Komite Sekolah sebagai Pokmas sama saja dengan menolak regulasi.

Lalu darimana kebijakan itu muncul? Padahal maqom swakelola tipe 4 hanya menempatkan Perangkat (dalam hal ini Disdikbud Jombang) pada posisi perencana. Sementara pelaksanaan dan pengawasan kegiatan menjadi domain Komite Sekolah yang otomatis adalah pemegang anggaran. 

Tidak hanya itu, metode pengadaan bahan material pada swakelola tipe 4

juga memicu tanya. Ini karena ketentuan metode “penyedia dalam swakelola” tercatat telah diabaikan. Terbukti, belanja bahan material dilakukan sendiri oleh Komite Sekolah. Padahal menurut seorang pakar, belanja bahan material di atas Rp 50 juta harusnya melalui kontraktual. (udin)

Tinggalkan Balasan