SURABAYA, TelusuR.ID – Paket pengadaan barang dan jasa Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman (Perkim) dan Cipta Karya Jatim tahun anggaran 2021 diduga bermasalah dengan hukum.
Ini karena sejumlah paket terutama swakelola tipe 1, diduga melanggar ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) dan peraturan turunan tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Total pagu swakelola tipe 1 yang terindikasi menyimpang itu sedikitnya mencapai Rp 850 juta. Demikian dugaan itu dilontarkan sumber yang berlatarbelakang pegiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) kepada Telusur.ID, Kamis (11/11), di kantor LSM kawasan Bagong Surabaya.
Menurutnya, paket yang terduga bermasalah itu terdapat pada dua kelompok kegiatan. Yakni paket makanan dan minuman (mamin) senilai total pagu Rp 322.390.000, serta paket pengadaan alat/bahan ATK kantor dengan total pagu sekitar Rp 437.905.381. Juga, satu lagi paket pemeliharaan gedung senilai pagu Rp 100 juta.
Pada paket belanja mamin misalnya, tegas sumber, pengadaan tersebut dipastikan menyimpang karena tidak mungkin sanggup dilaksanakan.
Ini karena paket dilangsungkan lewat pintu swakelola 1, dan itu artinya Dinas Perkim dan Cipta Karya Jatim bertindak selaku juru masak. “Tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi, “sergahya.
Jika pada praktiknya paket tersebut tetap dilaksanakan dengan swakelola 1, lanjut sumber, maka potensi menabrak ketentuan hukum sangat terang terjadi.
Ia lantas menyitir Peraturan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah) nomor 8/2018 tentang pedoman swakelola, dimana peraturan ini merupakan pengejewantahan dari Perpres perubahan nomor 12/2021.
Pada bab ketentuan umun pasal 1 ayat 2 Peraturan LKPP 8/2018 disebutkan, tutur sumber, bahwa yang dimaksud dengan swakelola adalah cara memperoleh barang dengan cara dikerjakan sendiri oleh KLDI (Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Instansi).
Sedang swakelola tipe 1, lanjutnya, adalah swakelola yang direncanakan, dikerjakan, serta diawasi oleh KLDI sebagai penanggungjawab anggaran.
“Nah, jika paket mamin tetap dipaksakan lewat swakelola tipe 1, maka selain berpotensi mengundang resiko hukum karena terbukti menabrak peraturan LKPP dan Perpres, juga praktik tersebut sangat dekat dengan tindak korupsi karena ada mekanisme pengadaan yang dilanggar. Saya kira ini bukan sekedar soal salah pilih metode, “ujar sumber.
Ia lantas membeber argumen, bahwa pada swakelola tipe 1, mekanisme sebagaimana berlaku pada Pengadaan Langsung (PL), tidak akan terjadi.
Yakni belanja paling banyak Rp 10 juta cukup dengan nota, kemudian belanja paling banyak Rp 50 juta harus didukung kwitansi, serta belanja paling banyak Rp 200 juta harus bersifat kontraktual atau menggandeng rekanan.
“Mekanisme seperti itu tidak berlaku untuk paket swakelola tipe 1. Itu masih ditambah besaran pagu swakelola tipe 1 yang tidak ada batasan. Jadi bayangkan saja, ketika paket yang seharusnya di PL itu akhirnya dibelanjakan sendiri oleh pihak Dinas, maka kemungkinan terjadi mark up harga sangat terbuka lebar. Untuk mematahkan dugaan tersebut ya harus dilakukan validasi pasar, “tegas sumber.
Tidak hanya mamin, paket belanja bahan/alat ATK Dinas Perkim dan Cipta Karya Jatim juga beroroma serupa. Paket dengan total pagu mencapai kisaran Rp 400 juta lebih itu juga dilangsungkan dengan cara swakelola tipe 1. “Sekali lagi pertanyaannya adalah, apa mungkin pihak Dinas (OPD) memproduksi sendiri bahan/alat ATK? Jika tidak mungkin, kenapa paket disebut swakelola tipe 1? “tanya sumber.
Satu lagi paket yang diduga janggal, tegas sumber, adalah paket pemeliharaan gedung senilai pagu Rp 100 juta. Paket ini tercatat dilangsungkan lewat swakelola tipe 1.
Memang tidak ada keterangan rinci terkait obyek yang dilakukan pemeliharaan. Tapi apa pun itu, sergah sumber, jika pemeliharaan dilakukan oleh Dinas, maka tupoksi dan kompetensinya dipastikan tidak nyambung. “Dengan pagu Rp 100 juta, maka kegiatan pemeliharaan cenderung bersifat teknis. Hingga berita ini ditulis, upaya konfirmasi yang dilayangkan ke pihak Dinas belum berbuah jawaban. (din/bersambung)