JOMBANG, TelusuR.ID – Aroma tak sedap itu seperti enggan pergi. Dia terus berdiam dan tanpa henti menebar bau tak sedap. Ya, bau tak sedap itu terus menyembul dari ruang kerja yang nampak berkelas itu.
Meski hanya menelan anggaran negara senilai Rp 174.564.500, ruang kerja yang diperuntukkan bagi jajaran pimpinan sebuah lembaga negara itu cukup tampil mentereng dan berkelas. Sayangnya, dibalik tampilan itu tersimpan praktik tak terpuji dan berpotensi merugikan negara.
Berdasarkan data yang masuk di meja redaksi, ruang kerja yang diduga menyimpan praktik jahat itu adalah hasil rehab dari anggaran APBD 2020. Yang jadi masalah, kata sumber, harusnya kualitas bangunan bisa lebih bagus secara kualitas jika tidak diselipi praktik curang.
Ya, menurut sumber, ruang kerja pimpinan yang sebelumnya merupakan ruang rapat anggota itu nampaknya (diduga) direhab tanpa pemenuhan spesikasi material. Sehingga potensi terjadi kerugian uang negara sangat terbuka lebar.
Dari sekian item material dan bahan yang mestinya dipenuhi oleh rekanan, diduga kuat ada kesengajaan untuk tidak dipenuhi. Antaralain adalah, sebut sumber, pasangan pintu yang mestinya diganti bahan tipe P1 aluminium, tapi oleh rekanan hanya dipasang kayu triplek.
Pada pasangan jendela yang mestinya diganti bahan tipe 1 aluminium, oleh rekanan malah tidak dilakukan. Hal serupa juga tetjadi pada obyek platfond. Pasangan rangka platfond hollow dan pasangan langit-langit gipsum board ukuran 120x240x9 itu diduga tidak dikerjakan, tapi hanya dilapisi cat untuk memunculkan kesan bangunan baru.
Selanjutnya adalah pekerjaan interior. Sumber menyebutkan, sedikitnya terdapat tiga jenis baham material yang diduga tidak dipenuhi. Antaralain adalah pasangan rangka dinding background hollow ukuran 40×40. Kemudian, pasangan lapisan multiplek 12 mm (1200x2400x12mm) backgroud. Dan satu lagi, pasangan finishing wallpaper dinding.
Sumber menyebutkan, ketiga bahan material itu diduga sama sekali tidak dipenuhi, melainkan masih bangunan lama yang hanya diganti HPK dan wallpaper saja. Dari dugaan praktik jahat tersebut, sumber menyebut, kerugian negara ditaksir mencapai kisaran 40 persen dari nilai kontrak.
Benarkah demikian itu yang terjadi? Hingga berita ini ditulis, pihak-pihak yang bertanggungjawab seperti KPA dan PPK (dan tentu saja rekananan dan konsultan pengawas) belum bisa dimintai keterangan. Juga, bagaimana Inspektorat sudah melakukan pengawasan? Ikuti beritanya hanya di Telusur.ID. (redaksi/bersambung)