Keputusan Munas NU untuk melaksanakan Muktamar pada bulan Desember 2021 membuat suasana menjadi hangat. Muncul nama-nama kandidat yang bertebaran di publik. Bagaimana kita sebaiknya menyikapinya?
Ada dua posisi yang akan ditentukan dalam Muktamar, yaitu Rais Am pada level Syuriaah dan Ketua Umum pada level Tanfidziyah. Rais Am adalah pemimpin tertinggi NU. Biasanya diamanahkan kepada ulama sepuh yang ahli fiqh, yang mengayomi dan menjadi teladan sikap dan tutur katanya.
Biasanya para ulama sepuh akan rebutan menolak posisi ini, karena sadar sepenuhnya betapa berat menempati maqam ini. Terkenal dialog para kiai sepuh yang saling menolak. Kiai As’ad mengatakan “jikalau Malaikat Jibril turun dari langit meminta saya menjadi Rais Am, saya pun akan menolaknya”.
Kiai As’ad lantas mengusulkan Kiai Mahrus. Pengasuh Ponpes Lirboyo ini juga menolaknya: “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!”
Akhirnya disepakati yang terpilih adalah Kiai Ali Maksum dari Krapyak, yang justru tidak hadir dalam pertemuan. Gus Mus berkisah bagaimana seharian beliau duduk bersimpuh tak bergerak di luar kamar Kiai Ali Maksum menunggu kesediaan Sang Kiai. Pada akhirnya Sang Kiai keluar kamar menyetujui penunjukkan itu dengan berurai mata.
Gus Mus terkena ‘karma’ peristiwa ini. Giliran beliau di Muktamar Jombang yang terpilih oleh 9 Kiai sepuh (AHWA). Namun beda dengan gurunya, beliau malah tetap kukuh menolak, sehingga para ulama mengalihkan amanah itu kepada KH Ma’ruf Amin.
Intinya adalah para ulama sepuh dan para Kiai dari jajaran Syuriah yang tahu siapa yang lebih pantas menjadi Rais Am. Akan terasa aneh kalau di luar itu ada yang sibuk dukung sana-sini seolah membenturkan para Kiai sepuh. Rais Am itu bukan sekadar pimpinan para ulama, tapi pemimpin spiritual dan faqih sekaligus. Posisi ini tidak untuk diperebutkan. Tidak ada kompetisi. Serahkan pada Kiai sepuh untuk menentukan dengan kearifan dan kejernihan para Kiai.
Bagaimana dengan posisi Ketum Tanfidziyah? Karena usulan agar posisi ini juga dipilih AHWA telah ditolak di Munas, maka kemungkinan besar akan terjadi pemilihan dan kontestasi dari para kandidat merebut suara muktamirin.
Namun demikian, spiritnya tetap harus sama. Sebagai pelaksana kebijakan para ulama Syuriyah, maka posisi Tanfidziyah tidak berdiri sendiri. Posisi ini adalah kepanjangan tangan para ulama. Posisi ini adalah pelayan ulama sekaligus pelayan umat. Ini juga bukan posisi yang main-main.
Untuk itu, meski kelak pemilihannya berdasarkan voting dari suara wilayah dan cabang, tidak boleh ajang Muktamar seolah menjadi pilpres dimana incumbent berkontestasi dengan penantangnya. Para kandidat tidak perlu mengerahkan timses atau pakai buzzer di medsos. Na’udzubillah. Mau jadi pelayan ulama dan umat saja kok rebutan? Para kandidat juga tidak perlu sahut-sahutan di media. Jangan mau digoreng sana-sini dan diframing macam-macam, seperti layaknya Pilpres. Marwah Muktamar NU harus dijaga.
Warga Nahdliyin juga jangan mau dibuat polarisasi mendukung kandidat A dan menolak kandidat B. Atau sebaliknya. Boleh dukung tapi jangan mutung. Biasanya di NU itu yang kepengen banget malah gak jadi. Adab harus dijaga. Kedepankan maslahat, bukan muslihat. Mari kita buat suasana adem.
Mari kita menuju Muktamar dengan gembira dan penuh persaudaraan. Siapa tahu kelak Malaikat Jibril dan Izrail pun bergumam: “Tanpa perlu kami turun ke arena Muktamar pun, suasana Muktamar sudah sejuk dan muktamirin memilih yang terbaik.” Insya Allah bi idznillah.
Mudah untuk dibayangkan, tapi juga tidak mustahil untuk diwujudkan, bukan?
Tabik,
Prof Nadirsyah Hosen